Sang Penakluk Tanah Batak

  • Bagikan

Aceh bagi sebagian orang-orang tua di tanah Sumatera adalah penjajah. Tutur orang-orang tua yang menyimpan kisah dari generasi ke generasi menyebut itu dalam setiap cerita.

Negeri penakluk yang tak henti menguasai, memiliki kekuatan militer yang tak sebanding dengan kerajaan-kerajaan kecil di daratan Sumatera. Malahan Portugis menyebut kapal-kapal Aceh di Selat Malaka tidak lebih dari perompak-perompak paling berbahaya, hingga mereka menyebutnya sebagai Espanto de Mundo, yang artinya Teror Dunia.

Pertarungan laut antara Aceh dan Portugis ternyata juga berimbas ke daratan. Negeri-negeri yang berhubungan dengan Portugis diporak-porandakan oleh kerajaan Aceh, mulai dari Pedir sampai Pasai. Tidak ada ampun apalagi peringatan awal, selama ada “bau” Portugis maka bersiaplah menerima serangan.

Itulah yang kemudian terjadi di Tanah Batak suatu waktu di tahun 1539. Raja Aceh yang agung Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar berkuasa sejak 1537 sampai 1568, dalam catatan perjalanan seorang sejarawan Portugis, Fernao Mendes Pinto, pernah mengobarkan perang suci melawan Batak.

Sebelumnya seorang utusan khusus Raja Batak bernama Aquareng Dabolay membawakan hadiah berharga kepada Kapten Pero de Faria di Malaka serta sepucuk surat yang ditulis di atas daun lontar.

Dalam buku Sumatera Tempo Doeloe, diceritakan utusan tersebut diterima dengan baik oleh Pero de Faria, lengkap dengan penghormatan dan upacara yang diselenggarakan dengan tata cara Portugis.

Sang utusan menyebut Raja Aceh yang lalim telah mengganggu Raja Batak.

Disebutkan, Raja Aceh menganjurkan Raja Batak yang beragama Hindu untuk berpindah ke agama Islam. Apabila raja bersedia menceraikan isterinya yang juga beragama Hindu dan sudah dinikahi selama 26 tahun, Raja Aceh akan menyerahkan salah satu saudara perempuannya untuk dinikahi Raja Batak. Ketika Raja Batak menolak saran tersebut, Raja Aceh kemudian menyatakan perang dengan Batak.

Akhir dari pertempuran paling mematikan itu, Tentara Aceh dan Batak akhirnya setuju mengakhiri permusuhan dan menandatangani perjanjian damai.

Perjanjian tersebut sebenarnya menyimpan bom waktu, karena dianggap tidak menyelesaikan persoalan secara tuntas. Selain kehilangan ratusan prajurit terbaiknya, Aceh juga diharuskan membayar kerugian perang sebanyak 4.040 kg emas murni.

Raja Batak juga akhirnya bersedia menyerahkan putra sulungnya untuk dinikahkan dengan saudara perempuan Raja Aceh, yang sebenarnya menjadi akar dan perselisihan tersebut.

Perjanjian damai Aceh – Batak hanya berlangsung selama dua setengah bulan, sampai akhirnya pecah perang kedua yang dianggap sebagai kudeta Aceh atas Batak karena dianggap mengingkari perjanjian.

Pertempuran kedua ini, Aceh cukup siap karena kedatangan bantuan 300 orang Turki. Orang-orang Turki itu datang dari Mekah dengan empat kapal besar.

Taktik Raja Aceh cukup jitu, disebarkannya desas-desus bahwa Raja Aceh hendak pergi ke Pasai untuk menghukum salah satu kaptennya yang telah memberontak. Kapal yang lengkap dengan seluruh persenjataan beserta tentara sewaannya berangkat, tetapi bukan ke Pasai, melainkan menyerang Batak.

Aceh berhasil membunuh ketiga putera Raja Batak bersama dengan 700 hulubalang yang merupakan prajurit terbaik sekaligus orang yang dimuliakan di kerajaan Batak.

Karena murka oleh pengkhianatan tersebut, Raja Batak bersumpah, untuk berpantang makan buah, garam, atau makanan lain yang terasa enak baginya sampai ia bisa membalaskan kematian anak-anaknya dan merebut kembali wilayah yang telah direnggut darinya, atau kalau perlu sampai ia mati dalam pertempuran.

Raja Batak mengerahkan pasukan sejumlah 15.000 orang yang berhasil ia kumpulkan dan memanfaatkan kedekatan dengan Portugis untuk mendapat bantuan militer lainnya.

Pertempuran digambarkan oleh sejarawan Portugis, Pinto, sebagai perang tak ubahnya pemandangan di neraka. Lebih dari 4.000 tentara dari kedua belah pihak terbujur kaku, meskipun sebagian besar korban diderita oleh Raja Batak.

Perang tentu saja penuh dengan derita dan kematian di antara gegap gempita kemenangan. Aceh telah pernah membuktikan kekuatan penaklukan hampir separuh Sumatera.

Kisah perang yang jarang diketahui banyak orang tentang bagaimana penaklukan Aceh terhadap Batak (Sumatera Utara) adalah bagian dari catatan sejarah yang mengajarkan banyak hal kepada kita. Bahwa selain keberanian untuk meraih sebuah kemenangan, dibutuhkan kesetiaan dan kejujuran. (Hasnanda Putra)

  • Bagikan