Manusia Perahu

  • Bagikan
Ilustrasi Manusia Perahu Rohingya

Angin bertiup semilir, gelombang laut sesekali mengangkat perahu kayu tua itu terombang-ambing. Beberapa lelaki berupaya turun menginjak pasir. Malam terus beranjak, ombak terus saja menghempas pantai di Gampong Ie Meule Sabang, sabtu, (2/12/2023) dini hari.

Malam dingin itu, serombongan manusia lusuh dan wajah penuh kelelahan bercampur pasrah kembali berlabuh di pulau tersebut.

“Rohingya katrok lom,” seru warga, sambil mendekat ke arah bibir pantai. Tidak berlangsung lama, malam dini hari seakan berlangsung cepat dan kumpulan warga yang melihat makin padat. Terdapat sekitar 139 orang yang sebagian anak-anak dan perempuan pengungsi ini memilih duduk di pasir pantai tersebut.

ini adalah kedatangan kedua warga tanpa negara ini di Sabang, sebelumnya pada 21 November lalu, sekitar 200 pengungsi Rohingya juga mendarat, namun kini mereka telah ditampung di tempat penampungan di Lhokseumawe.

Berbeda dari rombongan pertama, kunjungan kedua yang tidak diharap ini mengalami penolakan sejumlah warga di beberapa tempat. Demo penolakan sempat membuat suasana santai yang sejuk di kota paling barat Indonesia ini, mendadak panas. Malahan sikap penolakan warga Sabang sempat viral di media sosial. Publik pun bertanya, ada apa dengan pengungsi Rohingya yang terus datang, dan kenapa warga setempat mulai kompak untuk menolak.

Rohingya merupakan etnis minoritas Muslim yang tinggal di Myanmar. Mereka telah tinggal selama berabad-abad di negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. Junta Militer Myanmar dikenal sangat kejam dan menindas etnis ini.

Mengapa mereka ditindas?
Apakah etnis Rohingya bukan bagian dari Myanmar.

Sejumlah kalangan menyebut Rohingya memang sudah menetap di Myanmar sebelum kemerdekaan dari Inggris pada 1948. Sebagian sejarawan mengatakan etnis ini ini telah tinggal selama berabad-abad di sana.

Warga Rohingya sendiri merasa dirinya bagian dari etnis di Myanmar. Namun Pemerintah Myanmar yang didominasi Junta Militer, menyatakan mereka sebagai pendatang baru dari Bangladesh.

Puncaknya pada tahun 1982, saat Myanmar menerbitkan Undang Undang Kewarganegaraan, etnis Rohingya tidak dimasukkan sebagai ‘ras nasional’ Myanmar. Akibatnya, mereka menjadi populasi tanpa kewarganegaraan (stateless). mayoritas Rohingya hidup di Rakhine, negara bagian termiskin di Myanmar.

Krisis kemanusiaan terbesar di dunia

Biarpun tidak diakui kewarganegaraan, tapi warga Rohingya masih tetap tinggal di Myanmar.

UNHCR mencatat kehidupan mereka selama puluhan tahun mengalami kekerasan, diskriminasi, dan persekusi di Myanmar.

Orang Rohingya perlahan-lahan mulai meninggalkan Myanmar sejak paruh tahun 1990-an. Tapi puncaknya terjadi pada 2017, saat gelombang kekerasan besar-besaran di Negara Bagian Rakhine memaksa lebih 700.000 orang – setengahnya anak-anak – mencari perlindungan di negara terdekat, Bangladesh.

Aksi kekerasan yang dilakukan militer Myanmar di Rakhine memang sangat kejam. Pemberitaan mengejutkan dimuat The New York Post, sebagaimana dirilis CNBC Indonesia, membuat pengakuan dua tentara Myanmar terkait pembantaian etnis Rohingya.

Keduanya mengakui ada eksekusi perintah eksekusi massal, penguburan dan pemerkosaan terhadap etnis itu. Bahkan ini diberikan langsung oleh pejabat militer di Agustus 2017.

“Tembak semua yang kau lihat dan yang dengar,” kata Myo Win Tun, salah satu dari dua tentara itu sebagaimana dimuat dalam video yang didapat media AS tersebut.

Jumlah Etnis Rohingya

Populasi orang Rohingya saat ini diprediksi sekitar 1.5 juta – 3 juta jiwa. Dimana 800.000-an tinggal di Arakan atau Rakhine dan sisanya menyebar di banyak negara.

Jumlah yang bertahan di Myanmar semakin berkurang karena terus mengungsi ke luar negeri dengan menjadi ‘manusia perahu’.

Sebagian besar arus pengungsian lewat laut antar negara ini kini menyasar tujuan ke Indonesia, khususnya Aceh.

Sabang yang menjadi destinasi wisatawan mancanegara dan domestik terdepan di barat Indonesia, mulai dilirik warga Rohingya. Kedekatan wilayah dari tujuan awal Bangladesh ke Sabang, menjadi daya tarik bagi ‘manusia perahu’ ini, apalagi sebelumnya sempat disambut dengan baik di beberapa tempat di Aceh. Namun perilaku sebagian warga Rohingya disinyalir membuat kesal dan antipati warga setempat.

Kini, tak ada lagi penyambutan selamat datang, bulan madu bagi ‘manusia perahu’ telah lama berlalu.

(Hasnanda Putra)

  • Bagikan