Pulang tanpa emas, sama dengan menghantarkan nyawa.
Mungkin terdengar sangat tidak biasa di zaman modern, mengerikan, tapi demikianlah kisah para penambang emas di zaman raja-raja Aceh berkuasa.
Terletak di pendalaman Aceh, diyakini sebagai daerah Tangse, Gempang dan Tutut tempat tambang emas itu hidup bersama kehidupan yang tak pernah ada akhirnya. Di tempat ini, emas banyak bukanlah tanda saudagar, karena semua pekerjaan ini hanyalah perintah untuk kerajaan.
Gunung tinggi dengan jurang menganga, kulit terasa tipis karena hawanya terlalu dingin. Rasa takut pada hewan buas sama-sama tumbuh, mengigil di tempat sedingin dalam lemari es ini.
William Dampier, seorang bajak laut, sang kapten, penulis, dan penyelidik ilmiah berkebangsaan Inggris, menulis tentang tambang-tambang di Aceh, ketika kunjungannya di sekitar tahun 1688.
Mereka mendapatkan emas dari gunung, yang letaknya disebutkan lebih dekat ke pantai barat daripada ke Selat Malaka. Dampier menambahkan bahwa letak tambang emas itu di dataran tinggi, dengan gunung emas yang dipenuhi penambang.
Semasa Dampier, perdagangan emas tidak berkurang; tetapi oleh karena persaingan makin besar, pengawasan menjadi lebih ketat. Berbagai cerita mengerikan ditebar, sebagaimana ditulis Lombard dalam Buku Kerajaan Aceh Darussalam, kesaksian Dampier tentang orang gunung supaya pencari-pencari yang nekat tidak meneruskan usahanya.
“Saya diceritakan bahwa hanya orang muslim yang mendapat izin pergi ke tambang-tambang; bahwa sulit sekali dan berbahaya sekali kalau orang melintasi pegunungan sebelum sampai ke tambang itu, karena tak ada satu pun jalan lewat pegunungan yang amat terjal itu sehingga pada tempat-tempat tertentu orang terpaksa memakai tali untuk naik atau turun; bahwa pada kaki gunung-gunung itu ada penjagaan serdadu yang menghalangi orang kafir pergi ke tambang dan yang memungut bea.
Bagaimana cara menandai seorang itu muslim atau bukan. Mereka menyuruh buka celana untuk memastikan lelaki-lelaki itu telah dikhitan.
Pekerjaan berat menuju tambang-tambang tersebut terutama dilakukan oleh budak. Setelah itu mereka memuatkan hasil turun ke kota menyerahkan pada tuannya.
Begitulah kisah-kisah para pemburu emas di daerah pendalaman yang digambarkan penjelajah dunia–lebih dekat dengan pantai barat daripada ke Selat Malaka, di sini matahari seringkali enggan memunculkan diri.
Kehidupan keras di tambang emas antara kerja paksa dan hasrat untuk meraih kekayaan hidup merdeka- lebih dari sekadar upaya bertahan hidup.
Mereka pekerja keras ini- saat itu disebut sebagai budak-budak- menghadapi hari-hari dalam terowongan yang sewaktu-waktu bisa menimbun mereka hidup-hidup. Malam yang dilalui dengan dingin senyap, rasa lapar, ancaman dipenggal bila pulang tanpa hasil. Semua menyatu demi butir-butir emas.
Alam tidak selalu bersahabat, serangan harimau atau gajah liar yang merasa terusik. Tubuh-tubuh berserak tak bernyawa adalah pemandangan biasa sehari-hari.
Kehidupan ganas seringkali membuat sesama mereka menjadi bengis, tapi tak jarang memperlihatkan kebesaran dan kehangatan karena lamanya mereka di pergunungan.
Sepenggal kisah yang mengaduk emosi, perih, ditulis beberapa penjelajah dunia, yang merasakan sendiri getirnya dunia perburuan emas kerajaan. (Hasnanda Putra).