Sumatera telah menarik perhatian penjelajah sejak lama, hingga dikenal sebagai tempat pertama sekaligus terakhir di Asia Tenggara yang ditemukan dunia perjalanan internasional. Sebagai semacam barikade yang dihadapkan pada titik-titik masuk maritim ke Asia bagian timur, Sumatera adalah tempat pendaratan pertama di bidang pelayaran. Sebagaimana ditulis Anthony Reid dalam Sumatera Tempo Doeloe, emas dari rangkaian pegunungannya, lalu kapur barus dari hutan-hutannya, menarik para pedagang dari seluruh dunia menuju magnet Suvarna-dvipo-“Tanah Emas.
Kerajaan Perlak dan Samudera Pasai yang terletak pada pesisir timur laut merupakan negara-negara Islam
pertama di Asia Tenggara pada abad ke-13. Posisi strategis ini memacu peningkatan perdagangan serta dekatnya jarak dengan pelabuhan-pelabuhan internasional, bahkan lebih dekat daripada dengan tanah mereka sendiri, mendorong
penduduk Sumatera menanam tanaman-tanaman tropis yang laku di dunia.
Sumatera, menurut Anthony Reid, memasok sekitar setengah dari jumlah persediaan lada dunia antara 1550-1940 dan memasok sebagian besar persediaan karet dunia pada abad ke-20.
Sebagian kawasan pesisir Aceh saat itu, dikuasai oleh para penguasa dan pengusaha pelabuhan, malahan raja yang naik turun kuasanya tergantung pada perdagangan rempah yang didatangkan ke pelabuhan.
Dunia mengakui bahwa Aceh merupakan negeri yang penting dalam pelayaran bangsa Eropa untuk mencari rempah-rempah. Jalur strategis dalam perdagangan rempah-rempah itu telah ikut menumbuhkan beberapa kerajaan silih berganti. Kerajaan Aceh Darusaalam dengan bandarnya yang paling sibuk saat itu di kawasan “negeri-negeri bawah angin” (Asia Tenggara) telah pernah memegang kendali terdepan dalam perdagangan rempah.
Penguasa Rempah di Tanah Taklukan
Rempah-rempah yang dihasilkan dari Aceh dikenal kualitas terbaik. Lada telah menjadi barang ekspor yang pokok, yang dikirimkan kerajaan ke Cina dan beberapa pedagang barat. Pusat-pusat penghasil utama lada, sebagaimana ditulis Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh Darussalam, sebagian besar letaknya di pantai barat Pulau Sumatera, namun masih masuk dalam wilayah kontrol raja Aceh. Di Pasaman misalnya, yang rajanya adalah keturunan Sultan Aceh, kebun-kebun lada banyak ditemukan, letaknya pada kaki sebuah gunung yang tinggi sekali, kata Beaulieu, yang kelihatan dari jarak tiga puluh mil apabila langit cerah, ladanya bagus-bagus dan besar-besar; tujuh mil dari sana terletak Tiku yang lebih berlimpah-limpah lagi ladanya; di tempat-tempat tadi setiap bulan ada saja ladanya.
Pada abad ke-17, kata Beaulieu, Sultan Aceh adalah raja Pulau Sumatera yang tak ada tandingannya; tidak hanya pantai-pantai yang dikuasainya, tetapi juga hampir seluruh perniagaan dikendalikannya. Aceh ketika itu menjadi kerajaan dengan daerah taklukan hampir sepuruh Sumetera, sampai Pasaman, Priaman, Padang. Tidak hanya itu, kekuasaan Aceh meliputi kawasan semenanjung Melayu: Johor, Kedah, Pahang dan Perak.
Kekuasaan kerajaan pegang monopoli atas lada. Malahan kata Beaulieu, sampai dengan cara merusak perkebunan-perkebunan di Kedah. Sultan Iskandar Muda juga disebutkan telah menyuruh potong semua tanaman ladanya (kepunyaan raja Banten) supaya tanaman itu selanjutnya tidak akan merepotkannya; maka sekarang semua lada berada di bawah kekuasaannya dengan harga yang ditentukannya.
Raja juga mewajibkan para penanam di Tiku dan Pasaman untuk menjual panen ke pasar Aceh.
Hadiah Lada
Pada masa itu Kesultanan, seringkali membalas kunjungan para utusan Eropa dan negeri Muslim lainnya dengan rempah-rempah berupa lada. Seperti ketika abad 17, Sultan Aceh mengirimkan tiga buah kapal untuk berangkat ke Turki. Kapal-kapal itu berisi lada yang akan diserahkan ke Sultan Utsmani sebagai persembahan dari Aceh.
Balasan hadiah dari Sultan Turki berupa peralatan militer, termasuk meriam. Sehingga dikenal istilah Meriam Lada Sicupak. Meriam tersebut dinamai demikian karena merupakan hasil pertukaran rempah lada sebagai hasil bumi Aceh yang diberikan kepada Sultan Selim II.
Selama beberapa waktu, Sultan Aceh berhasil mendapatkan hak istimewa, sebagai satu-satunya yang berhak menjual rempah kepada asing yang bernilai tinggi dari daerah-daerah taklukan di hampir seluruh Pulau Sumatera dan sebagian semenanjung Melayu.
Rempah-rempah tidak banyak dihasilkan di kawasan inti kerajaan Aceh, namun justru dari daerah taklukan. Namun kendali penuh atas pasar dengan monopoli dan hak istimewa, dapat menetapkan harga sesuka hatinya. (Hasnanda Putra)