Banghas

Perang Tanpa Ongkos

1321
×

Perang Tanpa Ongkos

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi perang tempo doeloe

Sungai kecil mengalir turun dari pergunungan dan melewati bagian tengah istana. Dalam buku Sumatera Tempo Doeloe yang ditulis Anthony Reid, dirilis gambaran istana Kerajaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda. Gerbang istana ada empat, di bawah istana mengalir sungai yang airnya jernih dan benar-benar segar.

Rajanya gemar berperang, suka berburu dengan menunggang kuda yang kuat. Dia adalah Iskandar Muda, yang dalam beberapa catatan Agustin de Beaulieau kadang-kadang disebutkan berprilaku kejam.

Ketika sebuah negeri lain akan ditaklukan, raja memanggil para pembantu dekatnya. Rencana serangan diatur sangat detil dan sempurna. Untuk memujudkan impiannya dalam berperang, raja tidak mengeluarkan ongkos apa pun.

Semua abdi di lingkungan istana dan rakyat di wilayahnya, tanpa kecuali, diwajibkan untuk ikut berperang dengan biaya mereka sendiri. Tidak hanya itu, raja memerintahkan mereka untuk membawa perbekalan sendiri yang cukup untuk tiga bulan.

Raja hanya menanggung senjata, yang diberikan kepada mereka untuk ikut berperang. Selebihnya mereka harus mempersenjatai diri dengan sebaik-baiknya. Raja akan memberikan senjata kepada mereka; daftar senjata yang diberikan disimpan dan mereka wajib mengembalikan senjata-senjata tersebut sepulang perang.

Sebagai negeri yang kerap dilanda perang, orang kaya Aceh biasanya memiliki meriam milik sendiri yang bagus. Busur bersilang yang mereka miliki berukuran tidak kurang dari satu meriam karena mampu menembakkan bola peluru seberat 40 pon. Mereka juga memiliki beberapa meriam falcon yang ditempatkan di depan maupun di buritan kapal. Biasanya mereka membawa 600 sampai 800 pasukan pada kapal- kapal terbesar. Awak kapal bukan terdiri dari para budak melainkan orang-orang miskin yang mampu mendayung dengan baik.

Jaminan Perang

Orang-orang Aceh yang ikut berperang tidak seluruhnya karena sukarela, namun ini lebih dari sebuah wajib militer di zaman tersebut. Untuk memastikan mereka tidak lari dari medan perang, keluarganya dalam pemantauan. Sebagaimana ditulis dalam buku karya Anthony Reid, sang raja memastikan bahwa isteri, anak-anak, serta orangtua mereka- jika masih ada akan bertanggungjawab atas segala perbuatan mereka.

Raja mengancam, bahwa jika para putera atau suami-suami kabur atau menghilang karena takut berperang, atau melarikan diri dari musuh, ia akan membunuh para isteri, anak-anak, serta orangtua mereka semua dengan keji.

Ketika tiba hari keberangkatan, para orangtua, kawan, isteri, dan anak-anak mengantar kepergian mereka dengan banjir airmata. Keluarga meminta mereka untuk tidak mementingkan diri sendiri agar raja tidak punya kesempatan untuk membunuh mereka.

Mereka meminta para laki-laki ini untuk berani, patuh, dan cepat mematuhi perintah para atasan karena jika tidak, bukan hanya mereka yang akan menderita melainkan semua orang meskipun mereka tidak bersalah.

Raja selalu saja memimpikan perluasan wilayah dan ingin mendapatkan barang rampasan termasuk putra-putri kerajaan yang diserang itu untuk dibawa pulang ke Aceh. Sebagian menjadi isterinya dan keturunan yang lahir dari ratu-ratu ini akan dikirim kembali ke daerah taklukan untuk menjadi raja setempat.

Dengan cara seperti ini, penggalangan perang tanpa ongkos serta teror yang disebarkan oleh negeri-negeri tetangga, raja berhasil menjadikan mereka sebagai prajurit tangguh.

Semua kejayaan tidaklah berdiri sendiri, perang tanpa ongkos dibayar dengan penindasan yang sangat kejam.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda ini sampai pada puncak kejayaan melalui ekonomi yang cemerlang dan strategi militer yang sukses. (Hasnanda Putra)