Banghas

Kolong Langit Asing dan Beras Pang Ulee

1146
×

Kolong Langit Asing dan Beras Pang Ulee

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi gambar pertanian dari zaman ke zaman

Beras merupakan komoditas strategis sejak dulu yang memiliki peranan penting dalam perekonomian serta ketahanan pangan. Sebagai kerajaan besar, Aceh, pernah mengalami kewalahan dan sorotan asing terkait beras. Jumlah produksi yang sedikit dan konsumsi yang tinggi menimbulkan masalah karena tentu menyangkut kesediaan pangan di ibukota kerajaan. Sejalan dengan kesibukan pelabuhan besar dan pertambahan penduduk Aceh, kebutuhan besar pangan terus mengalami peningkatan.

Mengenai keseharian masyarakat di zaman Iskandar Muda dalam paruh abad ke-17, terkait pertanian, direkam dengan baik oleh Beaulieu- penjelajah Perancis yang pernah tinggal selama dua tahun di Kerajaan Aceh.

Sebagai kota dengan pelabuhan yang tingkatnya internasional dan gaya kosmopolit, Banda Aceh menjadi kampung dunia tempat tinggal banyak orang asing.

Ketersediaan pangan menjadi hal utama agar kota pelabuhan internasional ini terus hidup dan tumbuh. Namun warga enggan menjadi petani, hingga seluruh kegiatan pertanian dikelola oleh para budak. Beaulieu, sebagaimana ditulis Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, menyebutkan masalah pertama yang harus diatasi penduduk yang kebanyakan tinggal di kota itu dan yang wajib memberi makan, tidak untuk dirinya saja tetapi juga untuk awak kapal asing yang banyak datang berniaga, ialah mengadakan beras untuk menyambung hidup penduduk tetap dan sementara, karena kalau tidak ada beras, terancamlah perniagaan maupun kehidupan kotanya.

Dari mana beras itu didatangkan?

Secara umum, Aceh menjadi tanah yang subur untuk pertanian. Tanahnya dikenal menjadi pupuk alami, dapat menghasilkan segala macam padi-padian dan buah-buahan. Kerajaan sebesar Aceh, ketika itu, menjadikan beberapa kawasan sebagai lumbung padi, namun hal ini tidak juga mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri.

Pidie dan Daya (Aceh Jaya-sekarang ini) menjadi kawasan pertanian andalan kerajaan Aceh. Dari lumbung Aceh, Pidie, Sultan menempatkan orang utamanya untuk terus menjadikan daerah ini lumbung pangan utama.

Pidie atau Pedir ketika itu, menjadikan pertanian sebagai andalannya selain hasil tambang di pendalaman Tangse. Hal inilah yang kemudian menjadi motto Kabupaten Pidie: Pang ulee buet ibadat, pang ulee hareukat meugoe, atau terjemahannya sebaik apa pun perbuatan manusia adalah ibadah, sebaik apa pun pekerjaan manusia adalah bertani.

Semua penjelajah asing yang berada di Aceh, sama-sama menegaskan bahwa beras jarang ada dan mahal. Seperti pengakuan seorang utusan Inggris, Lancaster, mengenai beras yang didatangkan dari daerah luar dengan harga jual di pasar yang tinggi.

Sebab, menurut pendapat umum, orang Aceh bukanlah petani. Dalam buku Denys Lombard, “Orang-orang itu sedemikian angkuhnya hingga tidak mau memegang bajak”. Maka mereka tidak mau memikirkannya dan segala urusannya mereka serahkan kepada budak mereka.

Di dekat-dekat kota, atau kawasan Aceh Besar- sekarang, memang ada beberapa petani, mereka menanam padi sedikit dan hidup dari hewan yang mereka piara, terutama untuk dimanfaatkan sendiri, atau dari ayam dan itik yang telurnya mereka jual di kota. Namun Beaulieu menulis, tetapi semua itu tanggung-tanggung saja dan membawa masalah besar bagi sultan. “Daerah ibu kotanya tak cukup pertaniannya untuk memberi makan kepada penduduknya sehingga sebagian besar berasnya datang dari luar”.

Impor Beras dan Raja Pangan

Sejak abad 17, ketergantungan Aceh pada luar sangat besar. Sultan selalu memikirkan dua hal, yaitu supaya di satu pihak pengiriman beras yang dihasilkan di bawah kolong langit asing tetap mengalir ke kota, dan supaya di pihak lain ada budak untuk menanam padi di daerah sekitar nya.

Hal ini sangat amat penting, karena akan berpengaruh pada kekuasaan kerajaan yang menguasai hampir separuh pesisir Sumatera. Pentingnya kedua keharusan itu tak bisa tidak harus digarisbawah karena ikut menentukan seluruh politik kota itu ke luar.

Paceklik dengan timbulnya kelaparan pernah menjadi bencana besar semasa kakek sultan berkuasa, Ali Ri’ayat Syah (sekitar 1605) dan Iskandar Muda dianggap berhasil memberi kepada setiap orang kemungkinan untuk makan sampai kenyang. (Hasnanda Putra)