Kamaliah, putri kecil yang dijaga sejak ayunan. Di Semenanjung, Kamaliah tumbuh dari kecil sampai remaja sebagai primadona desa, pinggiran ibukota kerajaan.
Bundanya tiada bosan mengipas meninabobo dalam tidur malam, sambil membagi dongeng bercerita tentang apa saja yang baik. Malam itu bundanya bercerita tentang Ratu Balqis yang memikat hati seorang Sulaiman sang Raja itu.
” Wahai anakku, engkau tahu bagaimana Ratu Balqis tunduk pada Sulaiman,” Bunda bertanya dengan penuh cinta. Bibir mungilmu menjawab “Wahai ibunda kenapa gerangan dengan ratu, bersegeralah engkau bercerita padaku,”
“Suatu hari anakku, raja agung Nabi Sulaiman mengundang ratu Persia, sampailah sang ratu ke istana. Betapa terkejutnya sang ratu ketika istananya sudah berpindah ke istana Nabi Sulaiman,”.
Kamaliah takjub mendengar cerita bunda, malam yang kian larut sang bunda melanjutkan akhir cerita.
“Itulah tanda kebesaran Allah yang diberikan pada Nabi Sulaiman, sang Ratu Balqis akhirnya mengikuti Sulaiman”.
Sang bunda melanjutkan, “Maukah dikau anakku seperti Balqis, dan bunda ingin akan ada seorang pangeran seperti Sulaiman yang akan menjagamu kelak,”.
Kamaliah tidak menjawab, bunda tersenyum sambil menarik selimut menutup tubuh mungilnya, “mimpi indah anakku,”.
Malam kian larut, sesekali tapak kuda prajurit berpatroli terdengar. Malam terus berganti, hari hari terus terlalui.
Ingatan kampung halaman tak mudah dilupakan Kamaliah, gadis kecil dulu yang kini telah menjadi Ratu di Kerajaan Aceh.
Kamaliah, telah melalui hari-hari di Banda Aceh yang jauh dari negerinya, Pahang.
Seorang seniman istana, menulis di lembar kertas lusuh tentang ratu ini.
Berapa lama engkau ada di negeriku, meninggalkan ayah bundamu dan pergi melayani seorang rajaku.
Wahai Kamaliah Putroe Phang.
Tidakkah engkau rindukan gunung-gunung menjulang melambai di negerimu, hutan yang subur sawah yang menguning.
“Kalau bukan karena kebesaran negerimu tuan, tiada mungkin hamba mau mengikutimu ke istana darud dunia,” katamu suatu waktu pada Sultan.
Suara burung-burung dalam sepoi angin pagi sesekali menyapu dedaunan dalam taman raja. Kamaliah membasuh muka, air-air jernih Krueng Daroy mengalir perlahan melewati istana. Bak surga firdaus yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.
Kamaliah memandang jauh di seberang taman, sebuah pahatan gunung telah dibangun oleh raja untuk dirinya.
“Kalau bukan karena cinta, tidak mungkin aku bersusah payah membangun Gunongan untukmu ratu ku,” kata Sultan, Kamaliah tersenyum sambil genggam erat tangan raja.
Cinta keduanya terus abadi dalam cerita sejarah di kemudian hari. Gunongan dan situs-situs dalam Taman Putroe Phang adalah jejak yang tertinggal, saksi bisu sebuah hubungan yang tertoreh dalam tinta emas tentang sebuah kerajaan, para ratu dan raja-raja.(**)