Jamaah Jumat dan Subuh Merindukan Singa Podium

  • Bagikan

Oleh: H. Akhyar, S.Ag, M.Ag
Sektaris Umum PW Al Washliyah Aceh

Waktu kian cepat berlalu, setahun sudah Prof Farid Wajdi Ibrahim meninggalkan dunia fana ini. Dia menghembuskan nafas terakhir, Sabtu, 14 Agustus 2021 pukul 14.30 WIB di RSUD Meuraxa, Banda Aceh. Untaian kalimat Inna lillahi wainna ilaihi rajiun membahana di seantero alam maya, seakan tidak ada akhirya. Tidak ada pengumuman duka cita atas wafatnya seseorang yang disebarkan masif di beragam media sosial di Aceh, seluas pengumuman atas wafatnya Prof Dr H Farid Wajdi Ibrahim, MA.

Hal ini menunjukkan ketokohan dia di tengah masyarakat. Interaksinya yang luas dengan beragam kelompok, organisasi dan luasnya jaringan pertemanannya selama hidup. Tutup usia 60 tahun. Dia berkiprah di berbagai institusi dan organisasi, yang membuatnya dikenal banyak orang, tidak hanya di Aceh dan Indonesia.

Karakternya yang tegas, ceplas-ceplos, dan apa adanya; kiban crah meunan beukah, membuat dia dikenal luas dalam masyarakat. Tidak mengherankan, kalau berita wafatnya tokoh ini mengejutkan banyak orang. Antara percaya atau tidak terhadap apa yang dibaca di media sosial. Publik saling mengkonfirmasi, apalagi dia masih sehat wal afiat, bugar dan baru saja mengisi ceramah dan kegiatan sosial lainnya. Misalnya ikut mengantar dara baro ke Abdya, dilanjutkan ke Aceh Selatan, menjadi pemateri pada salah satu kegiatan dalam kapasitasnya sebagai Ketua Majelis Adat Aceh (MAA).

Humoris, human dan humble

Masih terngiang dalam ingatan publik sosok guru besar UIN Ar Raniry ini dalam kesehariannya. Darah kepemimpinannya mengalir deras. Yang menarik adalah, dia secara tidak langsung mengkader kepemimpinan masa depan, baik melalui institusi maupun organisasi, sehingga menjadi kenangan yang tidak bertepi. Di mana dan kapan saja dia selalu mendapat perhatian dan idola, terutama bagi generasi penerus bangsa.

Sosok Prof Farid adalah pribadi yang humoris. Hal ini diakui banyak kalangan. Bila bertatap muka dan bertemu dia, pasti lebih dahulu mengeluarkan kata-kata sapaan, seraya menjulurkan tangan untuk bersalaman. Ada saja polah, lawak dan tingkah jenaka dia, sehingga semua orang berkeinginan dekat, suasana menjadi cair dan penuh keakraban. Masih segar dalam ingatan masyarakat, bahwa dalam setiap ceramah dia sering sampaikan istilah mata air dan air mata. Dengan tingkah yang lucu dan menarik perhatian, istilah ini dialamatkan bagi orang-orang yang tidak mau berbagi rezeki, orang yang hanya mementingkan diri sendiri dan membiarkan orang lain abadi dalam kesengsaraan (air mata).

Dia juga sering menggunakan frasa anak buah dengan bapak buah dalam ceramahnya. Ini adalah kritik dia terhadap seorang pemimpin yang hanya mementingkan diri sendiri, tanpa memperhatikan orang yang di bawahnya, sehingga seorang pimpinan hanya sukses dirinya saja, sementara orang yang di bawahnya dalam keadaan tidak berguna. Padahal, tugas pemimpin adalah mengantarkan bawahannya sukses, bahagia dunia dan akhirah.
Sikap human atau manusiawi (rasa empati sesama) melekat pula pada sosok Prof Farid. Hal ini dengan mudah dibuktikan. Misalnya, ketika ada orang yang meminta, baik secara personal maupun organisasi, dia spontan membantu. Di kalangan organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Al Washliyah dia tumpuan setiap kegiatan. Ada testimoni beberapa bulan sebelum dia meninggal dunia. Ketika itu, sempat viral seorang bocah di Aceh Utara yang mencuri kotak amal masjid, lalu diarak oleh masyarakat dan diserahkan kepada Kapolsek setempat, padahal benar bocah ini adalah anak dari kalangan tidak mampu.

Lalu, Prof Farid turun langsung ke kediaman si bocah dan membantu sembako, peralatan sekolah, alas tidur, serta sejumlah uang untuk berobat ayah sang bocah. Bahkan dia menjanjikan akan mengadopsi sang anak, membiayai pendidikannya, namun Allah berkata lain, Prof Farid pun lebih dahulu dipanggil sang khaliq.

Kepribadian rendah hati dan bersahaja itulah sosok Prof Farid. Gelar guru besar (profesor) merupakan gelar tertinggi di dunia akademik tidak membuatnya berubah. Prof Farid adalah Farid Wajdi Ibrahim yang sesunggunya, menjabat dua priode rektor dan jabatan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya, namun tidak mengubah jati diri dan karakternya. Hal ini dapat dilihat dari dia tidak memilih tempat minum kopi, bahkan kebanyakan warung kopi yang disinggahinya adalah warung kopi biasa (menengah ke bawah). Hampir setiap waktu dia lebih dahulu membayar kopi kawan-kawanya.

Bila bepergian, Prof Farid tidak minta dilayani lazimnya seorang pajabat, baik ketika dia menjabat sebagai rektor maupun tidak. Dia menyetir mobil sendiri, padahal dia seorang pejabat. Selalu berbagi kepada orang yang bersamanya sebagai bungong jaroe untuk keluarga. Sopir pribadinya merasa betah dan nyaman, karena sikap rendah hati dan bersahaja menghiasi keseharian Prof Farid.

Sikap humble juga dia tunjukkan terhadap binatang peliharaan. Salah satu hobi Prof Farid adalah memelihara hewan dan merawatnya. Hal ini dapat dilihat ketika berkunjung di rumahnya di kawasan Tgk Diblang, Tanjung Selamat, Aceh Besar, banyak hewan peliharaannya. Dia senang memelihara rusa. Di jalan bantaran sungai Lamnyong Darussalam ada kandang rusa miliknya, yang terus berkembang biak.

Kerinduan jamaah

Sosok penceramah kondang layaknya singa podium menjadi idola dan dinantikan kehadirannya, bahkan tahun 2022 jadwal ceramah dan khutbahnya sudah full. Yang menarik adalah, setiap usai ceramah di satu tempat, pasti panitia meminta kesediannya kembali mengisi ceramah, baik di dalam maupun di luar kota. Di era Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), Prof Farid pernah diundang sebagai khatib Idul Fitri tahun 2013 di Masjid Istiqlal Jakarta.

Di Banda Aceh dan sekitarnya, ceramah dan khutbah Prof Farid ditunggu jamaah, terutama oleh jamaah BBC setiap subuh Ahad dan kelompok Jamaah Subuh Keliling setiap Sabtu. Setahun setelah wafat, Prof Farid belum ada sosok lain yang dapat menggantikan dia sebagai sosok penceramah yang heroik, berani berkata benar. Tidak takut kepada siapapun. Dia penceramah yang mampu memompa semangat jamaah, sehingga kerinduan mendalam jamaah Jumat dan subuh belum terobati juga.

Ada upaya sahabatnya membukukan sikap dan kepribadian dia, mendokumentasikan seluruh ceramahnya. Dukungan diharapkan tidak hanya datang dari kalangan masyarakat, tapi juga dari Pemerintah Aceh, sehingga kerinduan masyarakat terhadap ceramah Prof Farid dapat terobati.

Ini juga harapan keluarganya: Ir Adniar Araby (istri) pensiunan PNS Dinas Perkebunan Aceh; Zia Faizurrahmny, ST, MSc (anak pertama) dosen UIN Ar-Raniry; Faizatul Faridy, MPd (anak kedua) dosen UIN Ar-Raniry; Najihatul Faridy, MSc (anak ketiga) dosen Unsam Langsa; Lettu Mumtazul Rizki El Faridy (anak keempat) Kopassus Cijantung Jakarta; Afdhalul Rajai El Faridy (anak kelima) Mahasiswa Pasca Sarjana FT USK dan Azkiatul El Faridy (anak keenam) mahasiswa Saintek UIN Ar-Raniry. Mungkin juga harapan kedua cucunya, Fayyad Rifki El Faridy dan Khalif Nuruddin allifa

Prof Farid adalah sosok yang hampir sempurna dari segi kepribadian dan keteladan ini, kiranya menjadi acuan bagi masa depan umat. Istirahatlah yang tenang dan nyaman bersama amalanmu. Kami selalu mengenangmu, Prof Farid.(**)

  • Bagikan