Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh, dikenal sebagai salah satu kota tertua di Indonesia yang kaya akan sejarah, budaya, dan kearifan lokal. Kota ini menjadi simbol harmoni antara tradisi yang kuat dengan semangat kolaborasi modern. Melalui pendekatan berbasis kebersamaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal, Banda Aceh terus berkembang sebagai kota yang inklusif dan berdaya saing.
Kearifan Lokal sebagai Pondasi
Sebagai “Serambi Mekkah,” Banda Aceh menjadikan nilai-nilai Islam dan adat Aceh (hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut) sebagai landasan kehidupan masyarakatnya. Tradisi ini tercermin dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari seni, budaya, hingga tata kelola pemerintahan. Misalnya, penerapan syariat Islam di kota ini dijalankan dengan pendekatan humanis yang menghormati keberagaman.
Selain itu, masyarakat Banda Aceh memiliki budaya gotong royong yang tinggi. Tradisi meuseuraya—kerja bersama untuk kepentingan bersama—menjadi salah satu bukti bagaimana nilai kebersamaan terus hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Pasangan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banda Aceh Terpilih periode 2025-2030, Illiza Sa’duddin Djamal-Afdhal Khalilullah mengusung Kota Kolaborasi sebagai visi pembangunan Kota. Konsep ini mengutamakan Kolaborasi dan kreasi antara pemerintah, warga, dan berbagai pihak lainnya untuk mewujudkan misi bersama. Bunda Illiza (sebutan khas warga kota) bukanlah orang baru di kota ini, ketika memimpin sebelumnya telah banyak menoreh kemajuan. Kita berharap kepemimpinan kedepan bersama tokoh muda Afdhal akan lebih sukses memajukan kota paling barat di Sumatera ini.
Kolaborasi dalam Pembangunan
Banda Aceh kedepan harus terus memadukan kearifan lokal dengan inovasi modern melalui kolaborasi berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta.
Beberapa inisiatif sumbang saran kita mendukung visi kepemimpinan IIliza Afdhal kedepan antara lain:
1. Pengelolaan Wisata Berbasis Budaya
Banda Aceh menjadi tujuan wisata yang memadukan keindahan alam, warisan sejarah, dan budaya Islam. Destinasi seperti Masjid Raya Baiturrahman, Museum Tsunami, dan rumah adat Aceh menjadi ikon kota yang menggambarkan identitas lokal. Dalam pengelolaannya, pemerintah kota menggandeng komunitas lokal untuk memastikan pelestarian budaya dan manfaat ekonomi yang inklusif.
2. Digitalisasi dan Inovasi Teknologi
Pemerintah Banda Aceh juga berkolaborasi dengan komunitas teknologi untuk meningkatkan layanan publik berbasis digital. Contohnya, penerapan e-government yang transparan dan akuntabel. Upaya ini membuktikan bahwa tradisi tidak harus bertentangan dengan kemajuan teknologi, melainkan dapat berjalan beriringan.
3. Ekonomi Kreatif Berbasis Lokal
Dukungan terhadap UMKM berbasis produk lokal, seperti kain tenun Aceh, kuliner tradisional, dan kerajinan tangan, menjadi salah satu prioritas kota. Festival seni dan budaya seperti Piasan Seni menjadi ruang kolaborasi antara seniman, pelaku usaha, dan masyarakat untuk mempromosikan produk lokal ke pasar yang lebih luas.
Menuju Masa Depan yang Berkelanjutan
Banda Aceh tidak hanya membangun kota yang ramah lingkungan, tetapi juga kota yang berdaya saing global tanpa kehilangan jati dirinya. Dengan memadukan kearifan lokal dan semangat kolaborasi, Banda Aceh berupaya menciptakan kota yang inklusif, toleran, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Banda Aceh adalah bukti nyata bahwa kemajuan tidak harus mengorbankan tradisi. Sebaliknya, tradisi yang dijaga dan dihormati justru dapat menjadi kekuatan dalam menghadapi tantangan zaman. Inilah yang akan menjadikan Banda Aceh masa depan sebagai kota kolaborasi berkearifan lokal yang patut menjadi inspirasi bagi daerah lain di Indonesia. (Hasnanda Putra)