Oleh Bung Syarif*
Dalam term Kementerian Agama Republik Indonesia, keberadaan Lembaga Pendidikan Keagamaan (Dayah/Pesantren atawa sebutan lain), memiliki peran strategis dalam pembinaan wawasan kebangsaan dan wawasan kemadanian (baca: keadaban, dan intelektual jimnastik).
Dalam konteks keacehan dikenal dengan istilah dayah.
Berdasarkan literatur klasik, keberadaan dayah di Aceh muncul sekitar tahun 800 M. Keberadaan dayah atau pesantren telah melahirkan para tokoh agamawan dan cendikiawan yang berwawasan internasional.
Beberapa dayah tertua di Aceh, sebut saja Dayah Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan, Dayah Tanoeh Abe, Seulimeun Aceh Besar, dan beberapa dayah (Zawiyah) lainnya di Aceh dapat dilacak pada manuskrip abad ke-17 M, yang sampai saat ini masih tersimpan dengan rapi di Dayah Tanoh Abe.
Dayah sebagai pusat pendidikan keagaman, ekonomi, gerakan dakwah, bahkan pusat kajian ilmiah, sejatinya menjadi landasan filosofis, para Teungku, Waled, Aboen atau sebutan lain yang melekat pada pimpinan dayah di Aceh. Alumni dayah masa lalu, menjadi panutan masyarakat. Yang menjadi soal sekarang, akankah kemuliaan dan kemasyuran alumni dayah dapat terus bertahan hingga kondisi kekinian?
Tentu, jawabannya ada pada pihak-pihak yang bersentuhan dalam pengelolaan dayah itu sendiri. Mulai dari guru, pimpinan dan stakeholder yang diberi kewenangan dalam melakukan pentadbiran tata kelola dayah.
Guna memperkuat pentadbiran dayah ke depan, Dinas Pendidikan (Disdik) Dayah Aceh di bawah melakukan terobosan baru dalam melakukan akreditasi/tipologi dayah secara universal.
Berbagai tahapan guna mematangkan konsep Tipologi/Akreditasi Dayah dirumuskan formulasinya. Diawali dengan Rakor Terpadu Dayah se-Aceh tanggal 11-12 Juli 2018 dengan melibatkan unsur pejabat Disdik Dayah Kabupaten/Kota, Kakankemenag Kabupaten/Kota.
Materi yang dibahas antara lain: Instrument borang penilaian Akreditasi Dayah, Kriteria Dayah, Data Dayah terkini dari masing-masing kabupaten/kota. Data tersebut rujukannya adalah Kementerian Agama Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Dayah Kabupaten/Kota.
Kedua sumber datanya diambilkan data tertinggi guna mengakomudir keinginan kabupaten/kota antar dua lembaga dan dibuatkan berita acaranya yang diteken oleh Pejabat Disdik Dayah Kabupaten/Kota.
Data yang telah disepakati bersama dilakukan pemetaan awal dengan cara kewajiban masing-masing dayah mengisi quisioner sebagai prasyarat. Tim Survei di bawah kendali Disdik Dayah Aceh melakukan validitas data secara konkret di lapangan. Borang penilaian ini disepakati bobotnya setelah menerima masukan dari pimpinan dayah se-Aceh.
Selanjutnya setelah borang atau quisioner pemutakhiran data dikembalikan oleh masing-masing pimpinan dayah lengkap dengan dokumen pendukungnya, baru kemudian Tim Survei Disdik Dayah Aceh bersama Disdik Kabupaten/Kota melakukan validitas data sesuai borang yang telah diisi oleh masing-masing pimpinan dayah.
Secara umum ada tiga indikator utama meliputi; pimpinan (Tgk/Abati, atau sebutan lain), jumlah santri yang mondok, Kitab Turast/Kitab Kuning, serta 24 indikator tambahan. Masing-masing indikator wajib dibuktikan dengan devide-nya (bukti administratif dan fisik).
Setiap indikator diberikan bobot nilainya (skoring). Akumulatif skoring diberikan nilai Tipologi yaitu: besar dari 750 Tipe A Plus, 590 s/d 749 Tipe A, 510 s/d 589 Tipe B, 430 s/d 509 Tipe C dan kecil dari 430 masuk katagori Dayah Non Tipe.
Selanjutnya pada tanggal 9 s/d 10 November 2018, Disdik Dayah Aceh mengundang seluruh pejabat Eselon II dan III di lingkungan Disdik Dayah Kabupaten/Kota serta pejabat Kementerian Agama Aceh untuk melakukan Rakor Terpadu II yang berlangsung di Hotel El-Hanifi, Beurawe, Banda Aceh.
Forum Rakor kedua menyisir kembali hasil survey jika ada protes dengan melampirkan novum baru. Jika tidak, maka dilakukan penandatanganan berita acara hasil penentuan tipologi awal. Sebelum tahap ketiga melakukan publikasi di media Harian Serambi Indonesia.
Metodelogi yang dibangun oleh nakhoda Disdik Dayah Aceh, Usamah El Madny S.Ag, saya menilai sudah memenuhi standar keilmuan. Selasa 13 Nopember 2018 adalah puncak dari semua proses penentuan Tipologi Dayah se-Aceh. “Ini bukan harga mati,” ungkap Usamah El-Madny.
“Proses klarifikasi atau sanggahan masih dimungkinkan selambat-lambatnya 19 November 2018 dengan menjumpai pejabat Disdik Dayah Aceh di alamat Jalan Twk. Hasyim Banta Muda Nomor 4 Kampung Mulia, Banda Aceh,” sebut Usamah El-Madny ketika itu.
Kebijakan Akreditasi Dayah
Lahirnya Badan Akreditasi Dayah Aceh sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dayah, Pasal 69 secara tegas menyebutkan: “Akreditasi terhadap Lembaga dan Satuan Pendidikan Dayah dilakukan oleh Pemerintah Aceh melalui Badan Akreditasi Dayah Aceh”.
Keberadaan Badan Akreditasi Dayah Aceh tersebut sebagai mandatori dari Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2018 tentunya sangat strategis, sekaligus menjadi pondasi baru dalam penentuan Akreditasi Dayah di Aceh.
Badan ini diisi oleh insan yang dominan alumni Dayah Salafiyah (tradisional). Tanggal 13 Januari 2021 Gubernur Aceh, Bapak Ir Nova Iriansyah MT, melantik personil Majelis Akreditasi Dayah Aceh Periode 2021-2024 yaitu; Tgk Haekal Afifa Asyarwani, Tgk Ibu Hajar, Tgk Marbawi Yusuf, Tgk Ilham Mirsal, Tgk Syarwani mengubah pola akreditasi.
Mereka menyusun 8 Standar Instrumen Borang Akreditasi Dayah. Perubahan instrumen ini mendorong Anggota Majelis Akreditasi Dayah Aceh (MADA) dan Asesor Majelis Akreditasi Dayah Aceh harus proaktif dalam memberikan informasi kebijakan baru dalam penilaian Akreditasi Dayah di bawah kendali Badan Akreditasi Dayah Aceh.
Tipologi dayah yang sebelumnya dilakukan oleh Tim Adhoc bentukan Disdik Dayah Aceh yang diwakili unsur Pejabat Disdik Dayah Aceh, Kanwil Agama dan Ormas, kini murni dilakukan oleh MADA dan Asesor MADA.
Berbagai dinamika, tentu kami ikuti karna dalam proses peracikan menu regulasi kami terlibat aktif. Termasuk dalam FGD Penyusunan Instrumen Borang Akreditasi Dayah Aceh. Arah Kebijakan Politik Akreditasi Dayah Aceh berubah.
Berbagai pengelola dayah sempat kami bahani dalam Asistensi Pemenuhan Instrumen Akreditasi Dayah versus MADA. Kami berkesempatan melakukan bimbingan bagi Guru Dayah Kabupaten/Kota dan Khususnya Guru Dayah Banda Aceh dalam memastikan Instrumen Borang Akreditasi Dayah terpenuhi dengan baik.
Kini, komposisi MADA telah berakhir sejak 13 Januari 2024, lantas bagaimana kelanjutan Akreditasi Dayah Aceh tahun 2024? Tentunya kita menunggu personil MADA yang baru.
Berdasarkan informasi yang kami terima dari Pejabat Disdik Dayah Aceh telah beberapa kali melakukan Telaahan Staf pada Guberbur Aceh dan kini menunggu dibentuknya Tim Pansel guna melakukan rekrutmen Personil MADA yang baru. Waktu terus bergulir, banyak dayah di Kab/Kota menunggu reakreditasi guna peningkatan status dari Non Tipe minilam C, dari C menjadi B, Tipe B menjadi A dan A+.
Kami menyarankan agar personil MADA kedepan tidak lagi 100 persen dipenuhi oleh alumni Dayah Salafiyah (tradisional), akan tetapi ada keterwakilan akademisi, birokrat, unsur Dayah Terpadu/Dayah Tahfidz sehingga warna Akreditasi Dayah Aceh lebih beragam, tidak terpusat pada satu pemikiran saja.
Ini hanya tawaran, bisa diterima dan bisa tidak. Yang paling penting berbagai kebijakan nasional harus diakomudir dalam Instrumen Borang Akreditasi Dayah Aceh ke depan. (*)
* Penulis adalah Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Kota Banda Aceh, Ketua Komite Dayah Terpadu Inshafuddin, Fasilitator Program Dayah Ramah Anak Terintegrasi (Pro DAI) YaHijau-UNICEF, Dosen Legal Drafting FSH UIN Ar-Raniry.