Rubiah dan Iboih, Romansa Perahu Kaca

  • Bagikan
Penulis Hasnanda Putra berada di komplek makam Siti Rubiah, Pulau Rubiah Kota Sabang Foto/ Dok Pribadi

Bila berkunjung ke Iboih, kawasan wisata di Kota Sabang, wisatawan pasti tidak akan melewatkan kunjungan ke pulau kecil bernama Rubiah. Dikelilingi taman laut yang mempesona, Rubiah menjadi primadona bagi mereka yang ingin menikmati pemandangan bawah laut yang bening dengan terumbu karang dan biota laut yang beraneka ragam dan warna-warni.

Bagai akuarium raksasa, perairan antara Iboih dan Rubiah memikat siapa pun yang datang berkunjung.

Nah, apa kaitan antara dua tempat ini? Benarkah ada kisah cinta antara keduanya.

Penulis mengunjungi Iboih, Jum’at kemarin. Sudah menjadi Reusam yang berlaku di sini, tidak melaut di hari jumat. Termasuk tidak melakukan aktivitas wisata perahu kaca dan sejenis dengannya. Jadi kita tidak bisa keliling dan singgah di Rubiah sebelum siang.

Kami pun balik kembali ke arah pusat kecamatan, Pekan Iboih, untuk melaksanakan shalat jumat di Masjid Baitul Muna.

Arloji penanda waktu di smartphone menunjukkan pukul 14.00 WIB. Aktivitas melaut sudah diizinkan. Kami bergegas ke dermaga Teupin Layeu, beberapa perahu kaca sudah siap mengantar wisatawan ke seberang.

Ditemani dua tokoh pemuda setempat, kami tiba di Rubiah setelah sebelumnya selama hampir tiga puluh menit keliling Rubiah menikmati indahnya taman laut melalui kaca yang dipasang khusus di tengah perahu.

Akuarium berjalan ini menjadi paket wisata paling diminati wisatawan. Kita akan disuguhi pemandangan bawah laut, di antara hempasan ombak dan silir-semilir angin sepoi berhembus dari Samudera Hindia.

Keindahan perairan antara Iboih dan Rubiah memang tiada duanya. Laut dengan air jernih menghadirkan gradasi warna biru laut yang khas. Ditambah dengan kemolekan bawah lautnya yang memesona.

“Siti Rubiah itu isteri Teungku Di Iboih,” kata pemuda setempat. Mereka pun bercerita singkat kenapa kedua suami isteri ini berpisah.

Beberapa versi cerita berkembang di tengah masyarakat.

Dalam sebuah cerita disebutkan, Siti Rubiah yang merupakan seorang istri dari Tengku Ibrahim atau Tengku Iboih. Keduanya berdakwah atau membuka pengajian di Pulau Weh dan menetap bersama di kawasan Iboih.

Siti Rubiah kemudian memilih tinggal di pulau kecil itu sampai akhi hayat. Masyarakat kemudian hari menyebut tempat cantik ini sebagai Pulau Rubiah.

Siti Rubiah dan Kerajaan Aceh

Ketika tiba di lokasi, terlihat dua plang nama di antara pohon besar. Papan dalam area makam yang dipagari tembok pendek, tertulis nama Makam Umi Sarah Rubiah, sedangkan plang tugu di dekat jalan setapak tertulis Makam Siti Rubiah.

Di situ kita bisa membaca informasi singkat tentang Umi Sarah Rubiah atau Siti Rubiah yang hidup selama 47 tahun. Disebutkan perempuan ini berasal dari Singkil yang lahir sekitar tahun 1732, dan meninggal pada 1779.

Membaca angka tahun tersebut, kita bisa menyebutkan bahwa Siti Rubiah dan juga Teungku Iboih hidup pada zaman Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760 M) dan Sultan Mahmud Syah (1760-1781 M).

Masa Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah dikenal dalam banyak sejarah ketika munculnya kisah kepahlawanan Pocut Muhammad.

Menelusuri beberapa sumber cerita lain terkait Rubiah, disebutkan beliau dan suaminya Teungku Iboih adalah bagian dari petinggi Kerajaan Aceh yang meninggalkan Kutaraja dan mengasingkan diri ke Pulau Weh. Sehingga kata-kata Weh atau artinya pergi melekat nama pada pulau besar di Kota Sabang ini.

Kini, Rubiah telah menjadi magnet yang memikat banyak orang untuk datang berkunjung ke Sabang. Gugusan pulau-pulau vulkanik kecil yang terletak di barat laut Pulau Sumatra, antara Samudera Hindia dan Selat Malaka ini adalah surga wisata di barat Indonesia.

Antara Iboih dan Rubiah, ada romansa di balik lalu-lalang perahu kaca. (Hasnanda Putra)

  • Bagikan