posaceh.com, Raja-raja Aceh memiliki keunikan masing-masing selama berkuasa. Di antara penguasa Negeri Bawah Angin yang terkenal sebelum Iskandar Muda, adalah Sultan Ala’ Al-Din Riayat Syah al-Mukammil, seorang tua berusia 63 tahun dan berkuasa hampir 18 tahun lamanya.
Dulunya ia seorang warga biasa, bekerja sebagai nelayan. Namun suatu hari dia berhasil mengambil hati raja dan menjadi orang kepercayaan istana. Kemudian ia menyingkirkan raja tersebut dan mengangkat dirinya sendiri sebagai raja. Sejak saat itu, dia sangat ditakuti dan tidak ada yang berani menentangnya karena hukumannya sangat berat.
Salahsatu pedagang Eropa, Francois Martin yang mendampingi Jenderal Monsieur de la Bardeliere, dengan armada Perancis tiba di Teluk Aceh pada Juli 1602. Selama lima bulan berada di Aceh, Martin mencatat keseharian raja tua Aceh ini dan kehidupan kerajaan ketika itu. Tulisannya dirangkum dalam sebuah uraian komprehensif mengenai Aceh, dan kemudian ditulis dalam buku Sumatera Tempoe Doeloe oleh Anthony Reid.
Merujuk pada tahun periode kunjungan Martin bersama Sang Jenderal ke Aceh, maka Raja Aceh saat itu adalah Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604 M).
Disebutkan, raja tua ini dikawal pasukan perempuan yang bersejatakan pedang dan senapan kopak, mereka malah lebih mahir dari laki-laki.
Semua pekerja rumahtangga raja adalah perempuan dan tidak ada laki-laki yang diperbolehkan mendekatinya. Mereka muncul dua kali seminggu.
Raja tua ini mempunyai dua permaisuri yang memberinya empat anak; dua laki-laki dan dua perempuan. Anak sulungnya (laki-laki) merupakan putra mahkota kerajaan, sedangkan anak (laki-laki) keduanya memerintah di Kerajaan Pedir atau Pidie sekarang.
Selir-selir Raja
Raja dipanggil dengan sebutan Tuan Kita, sebagaimana ditulis Sumatera Tempoe Doeloe oleh Anthony Reid. Raja mempunyai lebih 300 selir yang diambil dari wilayah kekuasaannya.
Setelah dengan raja, kemudian dinikahkannya selir-selirnya dengan anak buahnya. Itu hanyalah cara agar anak buahnya terpaksa mengeluarkan biaya untuk menghidupi selir-selir tersebut, karena raja tidak mengizinkan mereka memiliki kekayaan melimpah. Apabila mendapat kabar bahwa ada orang memiliki kekayaan, raja akan merampas kekayaan orang tersebut. Sebagai dalih atas tindakannya, raja akan membuat seolah-olah orang itu berbuat suatu kejahatan. Ia akan memotong kedua tangan orang itu lalu membuangnya ke Pulau Weh.
Jaga Jarak atau Dicukil Mata
Di zaman itu, terdapat sejumlah peraturan yang dibuat raja dan berlaku sangat keras.
Jika bertemu seorang perempuan di jalan, hal terhormat yang sebaiknya dilakukan adalah menjaga jarak. Martin dan para prajurit Perancis yang tidak tahu adat setempat merasa tidak ada salahnya jika mendekat dan berbicara dengan mereka. Ketika melihat itu, para perempuan itu memaki dan menghina Martin dan kawan-kawannya dengan meludah ke tanah.
Tak seorang pun diizinkan melihat para perempuan milik raja atau bahkan gajah yang mereka tunggangi ketika berjalan melewati kota. Jika terbukti ada laki-laki yang melihat mereka, matanya akan dicukil atau kemaluannya dipotong.
Akhir Sebuah Kekuasaan
Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil yang telah mencapai usia lanjut, menempatkan anak laki-lakinya yang tertua untuk mendampingi dia di atas tahta kerajaan Aceh pada tahun 1603.
Namun bukannya menjadi pelanjut yang baik, rupa-rupanya puteranya ini berambisi segera menjadi Raja yang berkuasa penuh.
Pada bulan april tahun 1604, maka segera saja ia menyingkirkan ayahnya dari kedudukan Sultan dan mengumumkan dirinya sebagai Raja yang sah dengan gelar Sultan Ali Riayat Syah.
Berakhirlah kepemimpinan seorang Raja Aceh yang unik dan digambarkan oleh beberapa penjelajah dunia sebagai penguasa Aceh yang dikelilingi banyak perempuan cantik terpilih di negeri itu. Dikawal ratusan pasukan pengawal perempuan dan para pekerja rumatangga di istana yang hampir semuanya adalah perempuan.(Hasnanda Putra)
Sebuah lukisan gambar kondisi istana Aceh yang dipenuhi para pengawal perempuan Sultan Ala’ Al-Din Riayat Syah al-Mukammil (sumber wikimedia)