Opini

Partai Politik, Masalah atau Solusi?​​

770
×

Partai Politik, Masalah atau Solusi?​​

Sebarkan artikel ini
Dr. Wiratmadinata, S.H., M.H.​ * Penulis adalah akademisi, seniman, aktivis, dan pengamat politik.

Oleh Dr. Wiratmadinata, S.H., M.H.

Prihatin. Itulah kesan utama saya setelah mengamati perilaku partai politik (Parpol), khususnya di Aceh, sejak pascareformasi 1998, dan agak khusus pada momentum Pemilu serempak 14 Februari 2024 silam, hingga menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada), 27 November 2024 nanti. Keprihatinan ini muncul setelah membandingkan antara fungsi-fungsi ideal partai politik secara normatif, dengan manuver parpol dalam memainkan perannya sebagai instrumen demokrasi, khususnya dalam demokrasi elektoral.

Sangat terasa, bahwa semakin hari peran parpol semakin jauh dari fungsi sejatinya karena hanya sebatas menjadi “penjual tiket” kendaraan, atau lebih buruk lagi menyediakan diri menjadi tunggangan kepentingan kelompok pencari kekuasaan, dalam bentuk transaksi-transaksi pragmatis yang jauh dari ide mulia politik itu sendiri, yaitu; menciptakan masa depan lebih baik bagi segenap warga negara.

Para pengelola parpol seperti lupa, atau tak faham, bahwa kekuasaan yang dicari hanyalah salah satu elemen dari Sistem Tata Kelola Negara yang sangat kompleks. Socrates mengatakan; Negara adalah suatu keharusan objektif, yang dikelola berdasarkan akal budi. Sekali lagi; berdasarkan “akal budi”, atau kalau diterjemahkan dalam bahasa agama; berdasarkan akhlak-akhlak mulia.

Memang benar bahwa apa yang disebut sebagai parpol dalam definisi-definisi standard text book, politik memberikan penekanan bahwa; parpol adalah organisasi atau kelompok teroganisir yang didirikan dengan tujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Ringkasan pengertian sederhana tersebut disarikan dari berbagai pendapat para pemikir politik klasik yang hingga sekarang jadi rujukan mahasiswa-mahasiswa jurusan politik di manapun, antara lain pemikir seperti; Carl. J. Frederich, R.H. Soltau, Maurice Duverger atau Sigmun Neumann.

Dalam bukunya “Modern Political Practice” Neumann menegaskan: “Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan, serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda.

Tapi dalam fenomena kekinian, praktis semua parpol lupa, atau memang tidak ingin mengikuti konsekuensi lanjutan dari pengertian di atas, yaitu penjelasan lanjutan, mengenai “fungsi-fungsi” parpol yang wajib dijalankan oleh setiap Parpol. Fungsi-fungsi inilah yang menjadi kunci apakah parpol hadir menjadi “solusi” atau justru menjadi “masalah”, atau malah jadi beban bagi masyarakat di sebuah negara, termasuk dalam konteks politik di provinsi seperti Aceh ini. Sebab, jika parpol tidak mau atau gagal, menjalankan fungsi-fungsi tersebut, maka tujuan “kekuasaan” yang disasar oleh parpol tadi akan kehilangan legitimasinya, baik secara normatif, moral, etik bahkan hukum.

Empat Fungsi Parpol

Setidaknya ada empat fungsi parpol, menurut Sigmun Neumann, antara lain: Pertama; Partai politik sebagai sarana komunikasi politik (Political Communication); Di dalam fungsi ini, apa yang harus dikomunikasikan oleh Parpol bersifat kompleks atau tidak tunggal. Misalnya, di satu sisi parpol berfungsi menjadi “alat pendengar”; yaitu menyalurkan aspirasi rakyat untuk disampaikan kepada pemerintah (eksekutif). Di sisi yang lain, bagi masyarakat umum, parpol juga menjadi “alat pengeras suara” terhadap pemerintah, agar harapan rakyat bisa didengarkan seindah warna aslinya.

Dengan fungsinya yang seperti ini, secara teoritis parpol juga boleh disebut sebagai “brooker” atau “perantara” dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas). Di dalam masyarakat modern yang kompleks, pendapat individu atau kelompok akan hilang jika tidak dikelola serta diartikulasikan menjadi pendapat umum, yang kemudian kita kenal dengan istilah aspirasi publik.

Tapi teori tentang fungsi parpol sebagai komunikator politik ini dihancurkan oleh fenomena “Pokir” yang meskipun tetap diterjemahkan sebagai “Pokok Pikiran”, namun substansinya telah jauh melenceng, hanya menjadi “proyek”. Sehingga fungsi “brooker gagasan”, sudah diselewengkan jadi “brooker proyek”. Kalau meminjam istilah Rocky Gerung, dalam pergulatan politik, kita seharusnya melakukan “perkelahian” gagasan atau ide-ide, tapi di Aceh, kita justru melakukan “perkelahian Pokir”, dalam arti simbolik atau pun nyata secara gila-gilaan, entah karena jatah Pokir yang kurang, atau karena faktor lainnya.

Cerita Pokir yang terkadang dihaluskan menjadi “dana aspirasi” ini, sudah jadi rahasia umum, dan bahan pergunjingan di warung kopi, bahkan menjadi “kosakata” harian dalam kehidupan politik kita. Ditinjau dari manajemen pengelolaan modalitas pembangunan, Pokir yang nilainya bisa sampai Rp 2 trilliun per tahun itu, telah menghilangkan kesempatan bagi Aceh dalam memanfaatkan Dana Otsus untuk dialokasikan ke sektor-sektor strategis serta jangka panjang, karena dipecah (jadi bancakan), dalam paket-paket kecil supaya dapat dilakukan dengan metode “Penunjukan Langsung/PL”, atau paket tender yang dikondisikan. Singkat cerita, fungsi komunikasi politik sebenarnya tidak berjalan sebagimana seharusnya.

Kedua; Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik (Instrumen of Political Socialization). Sebuah partai politik lazimnya memiliki apa yang disebut sebagai “idelogi” (Ideology). Faham mengenai Ideologi sebagai suatu “terminal” keberangkatan sekaligus sebagai “arah dan tujuan”, menjelaskan tentang, apa yang jadi titik pangkal dilahirkannya satu parpol, dan apa pula yang hendak dicapai oleh parpol tersebut. Ide atau gagasan mengenai tujuan parpol menjadi inti dari keberadaan sebuah parpol. Ideologi Negara dan juga partai, lazimnya disosialisasikan kepada seluruh anggota parpol, dan dilipatgandakan kepada rakyat pemilih, agar platform pikiran partai bisa direalisasikan menjadi gerakan politik. Itulah sebabnya, diperlukan training kader, pelatihan ideologi, dan pendidikan politik kebangsaan dilakukan secara bertahap, terus menerus, massive dan sistematis secara terus-menerus (daily basis).

Di lapangan masih banyak kantor-kantor partai, terutama di level kabupaten, apalagi kecamatan serta desa, tutup sepanjang tahun. Hanya buka dan aktif kalau menjelang pemilu. Musiman. Mayoritas kantor partai pada level ini hanya punya plang nama, itupun suram, dan samasekali tidak ada aktivitas sosial yang bisa ditafsirkan adanya interaksi antara parpol dengan Konstituen. Fenomena ini memang tidak terjadi di level kantor pusat partai.

Di Indonesia kantor-kantor parpol di level nasional umumnya sudah benar-benar aktif. Tapi untuk level propinsi, semua parpol memang umumnya sudah memiliki kantor, tetapi masih ada yang tidak buka setiap hari layaknya sebuah kantor lembaga penting dan terhormat. Memang ada kesan “partai kaya”, akan lebih mampu mengelola aktivitas partai secara lebih profesional, tapi ada juga yang masih bersifat musiman; ramai saat dekat pemilu saja.

Lalu bagaimana soal pendidikan kader? Mudah sekali mengamati, kegiatan kader masih dilakukan sangat terbatas, dari klaim ratusan ribu anggota, mungkin yang benar-benar pernah mengikuti pelatihan kader, sebatas pengurus provinsi dan kabupaten, itu pun jumlahnya relatif kecil dibandingkan jumlah pendukung yang diklaim sebagai kader.

Merespon hal ini, parpol umumnya, mengeluh soal anggaran yang terbatas, dan faktor lainnya. Akibatnya sangat kentara, rata-rata pendukung partai tidak ideologis, bahkan pragmatis. Dampaknya, partai sebagai gerakan ideologis nyaris tidak ada, umumnya adalah massa mengambang. Yaitu massa yang cair, yang hanya bisa digerakkan oleh issu dan konteks tertentu.

Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh organisasi pro-demokrasi, bahkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), jelas menunjukkan statistik beragam soal tingkat sosialisasi ideologi, dan program partai, tapi tidak perlu saya sebutkan dalam artikel ini karena summir, dan teknis.

Ketiga; Partai politik sebagai sarana “recruitmen” politik (Political Recruitment). Ini adalah fungsi yang memberikan kekuatan sangat besar, nyaris mutlak, kepada parpol dalam menentukan siapakah yang akan duduk dalam jabatan-jabatan politik tertentu. Khusus di Indonesia, soal Pemilu diatur dalam UU No.7 Tahun 2017, yang di dalamnya diatur mekanisme memilih presiden, gubernur, bupati/wali kota serta pemilu legislatif.

Apa yang terjadi 14 Februari lalu, dimana Indonesia melakukan pemilihan serentak Presiden, Wakil Presiden serta anggota DPR dan DPD adalah contoh kongkrit tentang fungsi rekrutmen politik oleh parpol. Kegiatan lanjutan masih sedang kita songsong untuk pemilihan gubernur, bupati/wali kota, termasuk di Aceh, pada November mendatang.

Dari seluruh fungsi parpol, masalah rekrutmen inilah yang paling menonjol sekaligus paling bermasalah, karena ia langsung berhubungan dengan soal peran “orang” dan peran “uang”. Sudah sama-sama dimaklumi, dalam sistim Pemilu liberal (one man, one vote) yang berlaku di Indonesia mensyaratkan popularitas sebagai prioritas utama. Popularitas biasanya datang bersamaan dengan kemapanan ekonomi (artis atau pengusaha terkenal); kemapanan ekonomi jadi modal untuk mengerek elektabilitas (tingkat keterpilihan). Jadi bukan kapasitas (kemampuan dalam soal-soal pengelolaan negara) yang penting, melainkan kaya dan populer.

Ilustrasinya begini; meskipun seorang individu memiliki “kapasitas” dan seluruh kriteria untuk bisa menjadi seorang negarawan, tapi tanpa memiliki “popularitas” plus “uang”, biasanya akan gagal mengikuti seleksi menjadi “calon” di tingkat parpol. Biasanya, sosok ini (Contoh; pemikir, penulis, akademisi, aktivis, dll) akan “layu sebelum berkembang”; sebab sejak awal tidak lagi mau berkompetisi karena sadar tidak mampu membiayai biaya kampanye yang sangat mahal.

Di sisi lain, parpol butuh kemenangan melalui penambahan kursi, sehingga membuka kesempatan bagi siapa saja, asalkan berminat dan punya uang untuk kampanye untuk dicalonkan. Lebih sempurna lagi kalau sanggup “membantu” parpol (biasanya dalam bentuk uang juga). Intinya, uang menjadi sentral.

Yang paling fatal adalah; karena si “calon” ini dasarnya bukan kader politik, otomatis tidak pernah mengikuti kaderisasi politik. Artinya tidak pernah ikut pelatihan kepemimpinan, awam organisasi politik, minim pengetahuan birokrasi, hukum dan ketata-negaraan, atau malah samasekali tidak pernah berorganisasi; tapi potensi untuk menang tetap besar karena suburnya praktik “money politics”. Inilah gambaran model rekrutmen politik yang terjadi selama ini; jauh dari tujuan sejati Parpol. Pada gilirannya, Parpol hanya akan dikuasai pemilik uang sekaligus tokoh populer. Mungkon inilah penjelasan, mengapa fenomena Oligarki (Negara yang dikuasai para pebisnis) terus semakin menguat di Indonesia, tentu tidak kecuali merambah ke Aceh. Ujungnya, kita gagal mendapatkan pemimpin ideal sesuai kehendak rakyat.

Keempat; Partai politik sebagai sarana pengatur konflik (Conflict Management). Dalam fungsi ini, parpol dengan seluruh fasilitas dan kemudahan yang diberikan negara melalui undang-undang memiliki kewajiban untuk mengelola potensi-potensi konflik yang terjadi, sehingga keamanan dan ketertiban tetap terjaga. Oleh karena itu, secara moral dan legal, parpol yang memiliki kecenderunan melakukan provokasi sehingga mengakibatkan terjadinya konflik, jelas gagal menjalankan fungsinya dan pada gilirannya akan berhadapan dengan hukum.

Sebagai penutup dapat kita simpulkan, seluruh fungsi parpol yang harusnya dijalankan sebagai bentuk dan bukti pertanggungjawaban hukum serta moral kepada negara dan masyarakat, wajib dipenuhi. Kegagalan menjalankan fungsi-fungsi tersebut akan menempatkan parpol pada posisi tidak berguna. Sesuatu yang tidak berguna, perlahan membusuk dalam luka-luka politik yang dihadapi suatu masyarakat. Ada satu pepatah Inggris lama: “if you are not part of a solution, you are part of the problem”. Jika kamu bukan bagian dari solusi, maka kamu adalah bagian dari masalah.

Lalu, dalam konteks Pilkada Gubernur, Bupati/Wali Kota di Aceh, November mendatang, apakah parpol-parpol yang ada telah menjalankan fungsinya secara ideal? Atau justru sebenarnya menjadi beban sejarah masyarakat? Sementara itu, kita terlanjur dipaksa percaya; bahwa sebuah negara yang disebut demokrasi tidak mungkin disebut negara demokrasi, jika tanpa partai politik? Ah, bagai lingkaran setan tak berujung. ()