Rasulullah SAW dikenal memiliki sahabat-sahabat dengan berbagai karakter unik. Salah satunya adalah Nu’aiman bin Ibnu Amr bin Raf’ah, seorang sahabat yang terkenal dengan sifat usil dan suka bercanda.
Nu’aiman tak hanya dikenal sebagai pribadi yang humoris, tetapi juga merupakan salah satu prajurit yang ikut serta dalam Perang Badar, sebuah perang penting dalam sejarah Islam. Meski sering bertingkah lucu dan membuat orang tertawa, Rasulullah SAW tetap menyayanginya.
Menukil Kisah-kisah Inspiratif Sahabat Nabi oleh Muhammad Nasrulloh, disebutkan bahwa saking seringnya Nu’aiman membuat suasana ceria, Rasulullah SAW bersabda bahwa ia akan masuk surga dengan tersenyum.
Nu’aiman memang kerap kali menghidupkan suasana di sekelilingnya, bahkan Rasulullah SAW sering kali tersenyum melihat tingkah polahnya.
Iseng dan Suka Bercanda
Nu’aiman bin Amr, salah satu sahabat Nabi yang terkenal suka bercanda, pernah melakukan keisengan kepada Rasulullah SAW, seperti yang diceritakan dalam buku Saring Sebelum Sharing karya Nardisyah Hosen.
Suatu hari, Nu’aiman membawa buah-buahan untuk Rasulullah SAW sebagai hadiah. Tak lama kemudian, datanglah seorang penjual buah yang menagih pembayaran buah tersebut kepada Rasulullah SAW.
Terkejut, Rasulullah SAW pun bertanya kepada Nu’aiman, “Bukankah engkau menghadiahkan buah-buahan ini kepadaku?”
Ternyata, Nu’aiman membeli buah itu dengan utang dan berkata kepada penjual, “Bebankan tagihan ini kepada Rasulullah.”
Nu’aiman lalu menjelaskan kepada Rasulullah SAW, “Benar, ya Rasulullah. Aku ingin menikmati buah-buahan ini bersamamu, tapi aku sedang tidak punya uang.”
Mendengar hal itu, Rasulullah SAW tertawa dan akhirnya membayar tagihan buah tersebut.
Dalam kisah lain yang dikutip dari Janibal Ma’rifat karya Dafiq Rohman, Nu’aiman kembali mengerjai Rasulullah SAW dengan membawa madu sebagai hadiah. Namun, tagihannya kembali dibebankan kepada beliau, dan respons Rasulullah SAW pun sama, beliau tertawa lalu membayar tagihan itu.
Sifat Nu’aiman yang gemar bercanda tidak berhenti sampai di situ. Suatu hari, seorang Badui datang menemui Rasulullah SAW dengan menaiki unta. Beberapa sahabat memberi ide kepada Nu’aiman untuk menyembelih unta tersebut agar mereka bisa makan daging unta.
Mereka mengatakan, “Nanti Rasulullah yang akan membayarnya.” Nu’aiman pun menyembelih unta itu, dan ketika pemiliknya kembali, ia terkejut mendapati untanya telah disembelih.
Rasulullah SAW kemudian mencari pelakunya, dan para sahabat serentak menunjuk Nu’aiman. Dia bersembunyi di rumah Dhuba’ah binti Zubair, dan saat ditemukan, ia berkata bahwa ia hanya melakukan perintah sahabat-sahabat lainnya. Rasulullah SAW pun tertawa lagi dan membayar harga unta kepada Badui tersebut.
Cerita-cerita ini menggambarkan kepribadian jahil Nu’aiman yang membuat suasana ceria. Bahkan Rasulullah SAW pun menanggapinya dengan senyum dan kelapangan hati.
Bercanda dalam Islam
Dalam buku Adab Bercanda dalam Islam karya Hafidz Muftisany, dijelaskan bahwa setiap muslim harus memahami tata cara bercanda yang sesuai dengan ajaran Islam. Rasulullah SAW juga sering bercanda dengan istri, cucu, dan para sahabatnya, termasuk Nu’aiman. Namun, candaan tersebut selalu disampaikan dengan adab yang baik dan penuh etika.
Ada beberapa adab bercanda dalam Islam, antara lain:
1. Tidak membawa nama Allah SWT: Dalam bercanda, dilarang menggunakan nama Allah SWT, karena hal ini dapat merendahkan kesakralan dan keagungan-Nya dalam percakapan yang tidak serius.
2. Tidak Berbohong: Candaan harus selalu berdasarkan kebenaran, karena berbohong untuk membuat orang lain tertawa termasuk dalam perbuatan tercela yang tidak diperbolehkan dalam Islam.
3. Tidak saling menjelekkan: Hindari menjadikan orang lain sebagai bahan ejekan atau merendahkan martabat mereka, karena hal ini dapat menyakiti hati dan menimbulkan permusuhan.
4. Tertawa berlebihan: Tertawa yang berlebihan dapat melemahkan hati dan mengurangi keseriusan dalam beribadah, sehingga seorang muslim dianjurkan untuk tertawa dengan bijaksana dan proporsional.
5. Tidak berkata buruk: Candaan tidak boleh mengandung kata-kata kotor, hinaan, atau bahasa kasar. Karena perkataan buruk tidak mencerminkan akhlak seorang muslim yang beretika.
(Firdaus/*)