posaceh.com, Banda Aceh – Gempa disusul tsunami di Provinsi Aceh pada 26 Desember 2004 harus menjadi pelajaran bagi daerah lainnya di Indonesia. Apalagi, ancaman megathrust terus digencarkan sejak akhir tahun 2024 untuk beberapa wilayah di Indonesia, khususnya Selat Sunda yang dapat mengancam Jakarta.
Bahkan, dinilai megathrust menjadi ancaman nyata bagi Indonesia, khususnya di Selat Sunda, pantai selatan Jawa, hingga Mentawai-Siberut. Untuk wilayah Aceh dan sekitarnya masih berpusat di Kepulauan Andaman yang berada di Samudera Hindia, masih seputaran pusat gempa dan tsunami 26 Desember 2004.
Kekhawatiran itu dilontarkan oleh peneliti dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nuraini Rahma Hanifa. Dia mengungkapkan melalui penelitian paleotsunami, BRIN menemukan gempa megathrust di selatan Jawa memiliki periode ulang sekitar 400-600 tahun.
Dikatakan, dengan kejadian terakhir diperkirakan pada tahun 1699, energi yang tersimpan saat ini telah mencapai titik kritis. “Bencana seperti tsunami Aceh mengajarkan kita bahwa kesiapsiagaan dan mitigasi bencana menjadi kunci untuk menyelamatkan nyawa,” ungkapnya dalam keterangannya dikutip dari website BRIN, Sabtu (4/1/2025).
Dia melanjutkan potensi bencana dalam bentuk gempa megathrust seperti di wilayah selatan Jawa bisa saja terjadi dan dapat memicu tsunami dengan skala serupa seperti di Aceh. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari para pemangku kepentingan dan masyarakat luas agar dapat melakukan mitigasi risiko dampak bencana dengan cermat.
Rahma menyebutkan berdasarkan hasil risetnya, segmen megathrust di selatan Jawa, termasuk Selat Sunda, menyimpan energi tektonik yang signifikan dan berpotensi melepaskan gempa berkekuatan magnitudo 8,7 hingga 9,1.
“Potensi megathrust ini dapat memicu guncangan gempa yang besar dan tsunami, yang menjalar melalui Selat Sunda hingga ke Jakarta dengan waktu tiba sekitar 2,5 jam,” sebutnya.
Menurut simulasi yang telah dilakukan BRIN bersama tim peneliti dari berbagai institusi, jika tsunami terjadi, ketinggian gelombang diperkirakan dapat mencapai 20 meter di pesisir selatan Jawa, 3-15 meter di Selat Sunda, dan sekitar 1,8 meter di pesisir utara Jakarta.
Penelitian ini juga menunjukkan fenomena serupa pernah terjadi dalam sejarah, seperti tsunami Pangandaran 2006 yang dipicu oleh marine landslide di dekat Nusa Kambangan.
“Energi yang terkunci di zona subduksi selatan Jawa terus bertambah seiring waktu. Jika dilepaskan sekaligus, guncangan akan memicu tsunami tinggi yang bisa berdampak luas, tidak hanya di selatan Jawa tetapi juga di wilayah pesisir lainnya,” tambahnya.
Untuk itulah, BRIN menekankan pentingnya mitigasi melalui pendekatan struktural dan non-struktural. Pendekatan struktural meliputi pembangunan tanggul penahan tsunami, pemecah ombak, serta penataan ruang di kawasan pesisir dengan memperhatikan jarak aman 250 meter dari bibir pantai.
“Pembangunan hutan pesisir atau vegetasi alami seperti pandan laut dan mangrove juga menjadi solusi berbasis ekosistem untuk meredam energi gelombang tsunami,” jelas Rahma.
Sementara itu, pendekatan non-struktural melibatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui edukasi mitigasi bencana, pelatihan simulasi evakuasi, serta penyediaan jalur dan lokasi evakuasi yang memadai.
“Kita harus memastikan bahwa masyarakat memiliki pemahaman tentang potensi bahaya tsunami, sistem peringatan dini yang efektif, serta kemampuan merespons dengan cepat,” ujarnya.
Sedangkan untuk daerah perkotaan seperti Jakarta, yang memiliki kepadatan penduduk tinggi dan sedimen tanah yang rentan guncangan, upaya mitigasi gempa juga mencakup retrofitting atau penguatan struktur bangunan.
“Retrofitting sangat penting, terutama untuk bangunan di kawasan padat penduduk, karena goncangan kuat berpotensi menyebabkan kerusakan masif dan korban jiwa,” tambahnya.
Sedangkan untuk kawasan industri seperti Cilegon, potensi gempa juga dikhawatirkan dapat memicu kebakaran akibat kebocoran bahan bakar atau bahan kimia di pabrik-pabrik besar. Hal ini menjadi salah satu secondary hazard yang perlu diantisipasi melalui penerapan standar keamanan yang ketat.(Muh/*)