Selembar surat lusuh tersimpan, di sebuah rumah panggung tua di Tangse, dihuni keluarga terpandang dari generasi para hulubalang. Lembar lusuh kertas tua itu berasal dari zaman kolonial dari seorang perwira terpandang Marsose Belanda.
Tertulis untuk “Nyak Mameh, seorang yang terkasih,” ditempel prangko Nederland Indie bergambar candi. Surat tersebut telah ada di rumah tua ini begitu lama. Disimpan begitu baik, milik buyut mereka bernama Nyak Mameh seorang perempuan cantik yang dikenal zaman Belanda di negeri lembah singgah mata.
“Masa boleh saja berganti, namun rindu tak pernah terganti sampai mati,” tulis Letnan Satu H.J. Schmidt, perwira Belanda pimpinan Korps Marsose yang ditugaskan untuk memburu pengikut terakhir Tgk Chik Di Tiro di Tangse, baca https://posaceh.com/cinta-marsose-di-tangse/.
Ada kerinduan yang begitu mendalam, sampai ajal menjemput perwira Belanda ini di tahun 1933.
Tidak ada jejak cerita bagaimana Nyak Mameh tetap menyimpan warkah itu dan apakah surat sempat dibalasnya. Ada surat-surat yang telah dikirim dan mungkin tak pernah dibaca penerimanya.
Kisah pilu Perang Aceh begitu terekam dalam banyak sejarah, namun kisah cinta yang banyak terjadi diantara serdadu dengan perempuan Aceh tidak terungkap- mungkin dianggap tidak biasa dan bisa jadi bukan sesuatu yang luar biasa.
Dunia pernah heboh, ketika selembar surat yang ditulis pada 1916 tiba di alamat tujuan, di sebuah flat apartemen di London selatan, Inggris, 100 tahun kemudian sejak dikirim. Surat tersebut dikirim dua tahun sebelum Perang Dunia (PD) I.
Surat itu ditulis untuk “Katie tersayang”, istri raja prangko lokal Oswald Marsh, menurut Stephen Oxford, editor Norwood Review, majalah sejarah lokal triwulanan. Surat-surat cinta sepasang kekasih di masa Perang Dunia Kedua juga pernah ditemukan di Inggris. Catatan tulisan tangan dan berbagai obyek lainnya peninggalan masa perang itu ditemukan selama renovasi di Hotel Esplanade di Scarborough. Pasangan kekasih itu, yang namanya tak diketahui, menyatakan cinta mereka satu sama lain. Sang pria dalam surat itu menulis: “Oh sayang aku sangat kesepian tanpamu”.
Kembali ke surat tua seorang marsose, begitu kuat rasa rindu perwira ini ketika meninggalkan Tangse. Kewibawaan seorang prajurit pilihan ini pernah dicibir Sartiwi, perempuan Nusantara pengisi hari-hari Tentara Marsose di Tangse.
Surat-surat menjadi satu-satunya sarana komunikasi di zaman itu, dimiliki kalangan tertentu. Sebuah surat biasa- bisa saja tiba sampai setahun, malahan kadang bertahun-tahun dan sangat mungkin tidak pernah sampai. Media lain kala itu adalah surat kabar, namun masih beredar di Kutaraja belum sampai ke daerah. Informasi disampaikan hanya dari mulut ke mulut dan cerita ke cerita.
Schmidt, perwira perkasa itu memang dikenal pemberani. Rimba raya dan gunung terjal telah dilaluinya. Puncak tertinggi di Peut Sagoe Geumpang sudah pernah didakinya, apalagi Singgah Mata yang hampir sering dilaluinya.
Ketangkasan berperang Korps Marsose yang dipimpinnya cukup merepotkan pejuang Aceh. Namun siapa sangka, mentalnya runtuh hanya karena seorang perempuan yang menolak cintanya. Padahal setiap pergerakan pasukan Belanda selalu ada tim lengkap termasuk perempuan yang diboyong dari negeri jauh sebagai penghibur. Tetap saja Schmidt tidak bergeming, ketertarikannya pada perempuan Aceh dibawanya sampai akhir hayatnya. Bisa jadi kemampuannya berbahasa Aceh yang lancar begitu memahami setiap bait dari bibir Nyak Mameh, dan Schmidt terpikat terlalu dalam.
Sampai akhirnya, surat itu hilang setelah bertahan sekian lama dengan penuh cerita. Ada tabir yang tak terungkap, kisah dibalik pengejaran pejuang dan runtuhnya mental para serdadu.(Bang has)