Opini

Revitalisasi Baitul Mal di Aceh

422
Muhammad Syarif, SHI, MH. (Foto: Dok. Pribadi)

Oleh Bung Syarif*

Zakat merupakan pilar utama pemberdayaan ekonomi dalam Islam. Di antara lima hal yang menjadi rukun Islam yaitu; syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Ajaran zakat berdampak langsung dengan persoalan nyata yang dihadapi manusia dalam kontek kemiskinan dan ketidakadilan. Karenanya instrumen zakat menjadi solusi alternatif dalam persoalan pengentasan kemiskinan, khususnya di Aceh.

Lembaga Baitul Mal sebagai institusi resmi negara di Aceh telah bermetamorfosis kelembagaanya, dimana sebelumnya berbentuk Badan yang dipimpin oleh seorang kepala, kini menjadi Komisioner yang kepemimpinannya bersifat kolektif kolegial sesuai Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal.

Optimalisasi Pengelolaan Zakat

Semangat perubahan lembaga Baitul Mal itu dalam rangka optimalisasi pengelolaan zakat, menyesuaikan pentadbirannya dengan kondisi kekinian, sebagaimana semangat filosofis dalam konsideran regelingnya yaitu: pengelolaan secara baik, efektif dan profesional. Semangat ini sejatinya menjadi spirit dalam rekruitmen pengelola Baitul Mal Aceh (BMA) dan Baitul Mal Kabupaten/Kota (BMK).

Berdasarkan publikasi BMA tahun 2024 berhasil mengumpulkan zakat sebesar Rp 59,9 miliar atau 133% dari target awal. Secara keseluruhan total penerimaan Baitul Mal Aceh (BMA) pada 2024 mencapai Rp 95,5 miliar atau 119% dari target yang direncanakan. Ini menunjukkan adanya kesadaran masyarakat Aceh yang semakin tinggi akan pentingnya membayar zakat dan infak pada BMA.

Potensi zakat ini lebih dominan berasal dari zakat yang dikeluarkan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) ketimbang sumber zakat dari profesi lainnya, seperti jasa perdagangan, pertanian, peternakan, perhotelan, pertambangan dan sebagainya.

Target penerimaan zakat di Banda Aceh tahun 2024 sebesar Rp 22 Miliar dan hanya mampu direalisasikan sebesar Rp 15,5 miliar. Sementara potensi zakat di Banda Aceh pada 2025 diperkirakan mencapai Rp 240 miliar yang berasal dari ASN, lembaga perbankan, instansi vertikal dan berbagai sumber lainnya.

Apakah potensi ini mampu dicapai? Tentunya menjadi tantangan bagi Komisioner BMK Banda Aceh periode 2025-2030 di bawah kepemimpinan Dr Yusuf Qardhawi SHI MH.

Lantas kenapa pengelolaan zakat belum menyisir pada sumber yang lain selain zakat ASN? Inilah pekerjaan rumah besar bagi pengelola zakat di Aceh dalam hal ini BMA/BMK.

Di sinilah sejatinya orang-orang yang diberi amanah mengelola BMA/BMK harus pro aktif melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam mengelola amanah yang diberikan negara dalam hal pengumpulan dan pendistribusian zakat, sehingga tugas negara dalam mensejahterakan rakyatnya tercapai lewat lembaga BMA/BMK.

Dalam terminologi fiqih zakat didefinisikan sebagai sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah, diserahkan kepada oran-orang yang berhak (Yusuf Qardawi).

Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah QS. At-Taubah ayat 60 yang artinya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana”.

Dalam surah At-Taubah:60 tersebut dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat (mustahik zakat) adalah orang yang bertugas mengelola zakat (`amilina `alaiha).

Sedangkan dalam surah At-Taubah ayat 103 dijelaskan bahwa zakat diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Yang mengambil dan menjempu adalah para petugas (`amil). Dalam konteks Aceh adalah Pengelola BMA/BMK.

Imam Al-Qutubi ketika menafsirkan surat At-Taubah ayat 60 menyatakan bahwa `amil itu adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam/pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Karena itu Rasulullah pernah memperkerjakan seorang pemuda dari suku Asad yang bernama Ibnu Lutaibah untuk mengurus zakat Bani Sulaim. Pernah pula mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi Amil Zakat. Demikian pula dilakukan oleh khulafaur rasyidin sesudahnya, mereka menunjuk petugas khusus untuk mengelola zakat serta mendistribusikan sesuai aturan agama (QS. At-Taubah ayat 60).

Pengelolaan Zakat oleh BMA/BMK

Pengelolaan zakat oleh lembaga resmi negara (BMA/BMK) di samping memiliki kekuatan hukum formal juga memiliki keuntungan lainnya: Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat; Kedua, untuk menjaga perasan rendah diri mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari muzakki;

Ketiga untuk mencapain efisiensi dan efektivitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat, dan; Keempat untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang islami.

Sebaliknya jika zakat langsung diserahkan oleh muzakki kepada mustahik, meskipun secara syariah sah, akan tetapi di samping terabaikan hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat terutama berkaitan dengan kesejahteraan umat akan sulit diwujudkan.

Karenanya Revitalisasi Pengelolaan Zakat melalui BMA/BMK menjadi penting dilakukan. Yusuf Qardawi dalam kitabnya berjudul Fiqh Zakat menyatakan bahwa seorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat harus memiliki beberapa syarat sebagai berikut:
Pertama, beragama Islam, zakat adalah salah satu urusan utama muslim yang termasuk rukun Islam ketiga, karena itu sudah saatnya urusan penting kaum muslimin diurus sesama muslim;

Kedua: Mukallaf yaitu orang yang dewasa, sehat akal dan pikirannyan dan siap menerima tanggungjawab mengurus urusan umat: Ketiga: memililiki sifat amanah atau jujur. Sifat ini sangat penting karena berkaitan dengan kepercayaan umat. Artinya, para muzakki dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelolaan zakat.

Keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan menyalurnya sejalan dengan ketentuan syar`i.

Di dalam Al-Quran dikisahkan sifat utama Nabi Yusuf yang mendapat kepercayaan menjadi bendaharawan negara Mesir yaitu saat Mesir dilanda paceklik sebagai akibat kemarau yang panjang. Beliau berhasil membangun kembali kesejahteraan masyarakat, karena kemampuannya menjaga amanah. Demikian juga keamanhan pengelola zakat pada masa Rasulullah dan khulafaur rasyidin;

Keempat, mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan ia mampu melakukan berbagai inovasi dalam menggerakkan masyarakat mau bayar zakat;

Kelima, memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaiknya. Amanah dan jujur merupakan syarat yang sangat penting.

Harus Transparan dan Akuntabel

Di samping itu pula bekerja secara full time, bukan mengambil kesempatan yang mumpuni dengan jabatan yang ada. Ini menjadi penting sehingga kejayaan Islam akan bangkit kembali lewat pengelolaan zakat di Aceh.
Mungkinkah pengulangan sejarah dalam mengelola zakat di masa Bani Umayyah yang berlangsung hampir 90 tahun (41-127H) di bawah khalifah Umar Abdul Azis.

Dia terkenal dengan kebijakan pengelolaan zakat yang mumpuni, mampu mensejahterakan rakyat dan berhasil mewujudkan keadilan bagi warganya bahkan warga jazirah arab lainnya.

Mencermati kriteria pengelolaan zakat tersebut kiranya revitalisasi bagi pengelola BMA/BMK menjadi mutlak dilakukan, sehingga spirit kehadiran BMA/BMK benar-benar dirasakan manfaat nyata bagi kehidupan masyarakat, terutama bagi fakir dan miskin serta orang-orang yang berjuang di jalan Allah, seperti para da`i, guru ngaji, mahasiswa serta santri dayah yang menimba Ilmu Agama terbantu oleh BMA/BMK tentu syarat dan ketentuan dibuat aturan yang jelas oleh BMA/BMK.

Pengelolaan zakat pun harus transparan dan akuntabel, sehingga kepercayaan masyarakat Aceh pada BMA/BMK akan semakin tinggi.

* Penulis adalah Presidium Alumni Hukum Ekonomi Islam (HES) UIN Ar-Raniry, Magister Hukum Tata Negara USK, ICMI Kota Banda Aceh, Direktur Aceh Research Institute (ARI), Dosen Legal Drafting FSH UIN Ar-Raniry, KAHMI Aceh, Aktivis`98.

 

Exit mobile version