Banghas

Raja Orang Dekat

700
×

Raja Orang Dekat

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi raja dan orang-orang dekat

Orang-orang dekat kerap membantu, selebihnya ibarat hantu telah lama menjadi kisah menakutkan dalam perjalanan kekuasaan raja-raja di Aceh.

Menarik menyimak perilaku para pemimpin Aceh dari masa ke masa. Sebagian menjabat separuh hidupnya sampai mangkat, ada yang diturunkan belum waktunya, malah ada hanya menjabat sehari saja atau dikenal “Raja Siuroe”.

Raja-raja Aceh dikenal menyukai acara pagelaran mewah, pawai gajah meriah dan perburuan di hutan belantara. Mereka bergerak dengan prajurit pengawal yang gagah berani dan prajurit perempuan yang tangkas.

Tidak semua mendapatkan kuasa dengan mulus, penuh taktik bulus dan sebagian memang mendapatkannya dengan tulus. Ada raja yang naik kuasa setelah membunuh raja lainnya. Francois Martin, seorang pedagang dalam pelayaran armada Perancis di tahun 1602 ke Aceh, mempublikasikan catatannya tentang seorang raja.

Sebagaimana terangkum dalam buku Sumatera Tempo Doeloe, terdapat seorang raja tua berusia 63 tahun dan berkuasa 18 tahun. Dulu hanyalah seorang nelayan yang karena jasanya berhasil mendapatkan posisi di dekat raja. Kemudian dia membunuh raja dan mengangkat dirinya sebagai raja.

Sejak saat itu, tidak ada seorang pun yang berani mendekatinya karena takut mengalami nasib yang sama. Penjaganya terdiri dari perempuan yang bersenjatakan pedang dan senapan kopak serta mempunyai keterampilan yang sama dengan laki-laki dalam menggunakan senjata. Semua pelayan rumah tangga raja adalah perempuan dan tidak boleh ada laki-laki yang mendekatinya kecuali raja itu sendiri.

Raja dipanggil dengan sebutan Tuan Kita mempunyai lebih dari 300 selir yang diambil dari wilayah kekuasaannya. Setelah meniduri mereka, raja menikahkan selir-selirnya dengan anak buahnya. Itu hanyalah cara agar anak buahnya terpaksa mengeluarkan biaya untuk menghidupi selir-selir tersebut, karena raja tidak mengizinkan mereka memiliki kekayaan melimpah.

Orang-orang dalam istana berperan mengatur kerajaan, menjadi pembisik raja dan tak jarang berperan sebagai algojo eksekusi.

Istana terlihat teduh dan tenang dari luar, namun sesungguhnya di dalam penuh riak dan dinamika-hanya masalah waktu saja kegaduhan segera berkobar.

Untuk mendekati raja, tak jarang mereka saling memberi hadiah atau menyampaikan informasi yang raja senangi biarpun belum tentu benar. Mereka mendekati raja dengan bujukan dan pemanis kata.

Begitulah orang-orang dekat telah meninabobokan raja, memuja siang malam. Tawa yang dibuat-buat sampai tangisan hanya sandiwara belaka. Sesungguhnya tiada lebih kecuali menjerumuskan. Kisah-kisah penyerangan Aceh beberapa kali ke semenanjung Malaya, dan eksekusi mati sendiri putra raja adalah sepenggal kisah kelam akibat terlalu mendengar pembisik istana.

Seorang penjelajah Perancis, de Beaulieu dalam perjalanan selama di Aceh melihat lalu-lalang pembisik raja masuk istana. Dia terkesima ketika dalam dialog dengan seorang pembisik yang kerap ditemuinya di istana di masa Sultan Iskandar Muda. “Raja dekat,Tuhan jauh!” kata bangsawan pembisik itu. Kalimat ini terdapat dalam memoir perjalanannya ke Aceh, ditulis kembali Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda.

Ternyata kisah para pembisik telah lama menjerumuskan kekuasaan para raja-raja, dan pada akhirnya mengalami kejatuhan dan dilupakan sejarah. Para pembisik tidak memikirkan lebih, kecuali untuknya sendiri. Bagi mereka, Raja terlalu dekat dan Tuhan terlalu jauh.(**)