PEUNAJOH RAJA

  • Bagikan

Jamuan penyambutan Raja-raja Aceh ketika menyambut tamu asing sangat meriah, selain menampilkan tarian kolosal oleh para perempuan penari yang digambarkan sangat cantik jelita, juga disajikan hidangan khas istana yang setiap bejana ditutup kain emas dan permata indah.

Kerajaan Aceh dipersatukan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada sekitar 1496 M dengan Ibu kota Kutaraja atau Banda Aceh. Puncak kejayaanya dicatat ketika masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Zaman kerajaan atau kesultanan banyak meninggalkan tradisi budaya, termasuk makanan.

Aneka ragam kuliner Aceh dikenal citarasanya yang enak dan khas karena kaya akan rempah. Kuliner ini hasil dari akulturasi budaya Aceh dan negeri-negeri tetangga seperti Arab, India, Cina dan Persia.

Letaknya yang strategis berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan Selat Malaka, Aceh dikenal sebagai pintu dunia dan pintu masuk negeri-negeri Nusantara.

Kuliner yang kini menjadi daya tarik wisatawan ketika berkunjung di Aceh, di zaman dulu kuliner ini tidak bisa dinikmati oleh semua orang, karena memang diperuntukkan untuk kalangan istana dan bangsawan, atau disebut sebagai Peunajoh Raja.

Pada zaman raja atau ratu Aceh, perbedaan mencolok lainnya terlihat antara rakyat biasa dan orang kaya beserta para punggawanya. Selain pakaian yang dipakai, Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda menyebutkan orang kaya itu biasa dibedakan dari rakyat biasa karena mereka membiarkan kuku ibu jari dan kuku kelingking tumbuh panjang, tanda mereka tidak bekerja dengan tangan.

Budak-budak yang dimiliki raja atau bangsawan dan orang-orang kaya, mempersiapkan kebutuhan sehari-hari termasuk hidangan makanan. Para budak ini sebagian didatangkan dari Asia kecil dan ahli dalam berbagai masakan dan ditambah pengaruh para pedagang asing yang tiba di Aceh, sehingga makanan yang mereka hidangkan dengan perpaduan resep negeri asalnya dan lokal telah menghadirkan citarasa makanan Aceh yang kaya akan perpaduan rasa.

Kebiasaan hidangan raja ini juga ikut disantap para tamu kerajaan yang datang dari berbagai belahan dunia, seperti dituliskan Laksamana Beaulieu yang berkunjung ke Aceh pada tahun 1620 zaman Sultan Iskandar Muda. Sehabis penghadapan, Sang Raja biasanya menjamu kapten dan perwira-perwira asing ini dengan acara penyambutan yang meriah. Tempat acara itu digambarkan sebuah ruang persegi empat yang dinding dan lantainya dilapis kain dari Turki. Kepadanya ditawarkan sirih ”dalam tempat emas yang besar dengan tutup dari zamrud”. Lalu datanglah sekitar tiga puluh perempuan, masing-masing dengan membawa sebuah bejana perak besar yang tertutup, yang kemudian mereka letakkan di atas permadani. Setiap bejana ditutup dengan kain songket dari bahan sutera campur benang emas dan beberapa yang menyentuh tanah.

Kue Raja

Beberapa jenis kuliner yang dulu hanya menjadi hidangan para raja antara lain kue-kue, seperti meuseukat, dodoi, kueh supet, kueh pret, bhoi, haluwa breuh, bada reuteuk, sagon, wajek, keukarah bungong kaye serta kue khas lainnya.

Dalam perkembangnnya bentuk dan rasa kue-kue tradisional ini makin berkembang dengan aneka motif khas. Semua makanan Aceh itu dibuat dengan bahan khusus tanpa pengawet.

Makanan Desa dan Kota

Dalam beberapa literatur, disebutkan makanan keseharian orang-orang Aceh yang tinggal di desa-desa sangat sederhana, yaitu nasi putih dan sedikit menu tambahan. Sementara para raja-raja menyantap berbagai masakan yang beragam dan lezat.

Seorang penjelajah Eropa, Dampier, sekitar tahun 1688 menyebut soal makanan orang-orang Aceh di desa atau penggiran kota sangat sederhana: “Mereka cukup makan sedikit saja, makannya hampir selalu nasi saja. Mereka yang kaya makan dengan sedikit ikan, sedikit sayuran dan baru orang besarlah yang makan ayam yang dibakar di atas arang atau direbus untuk satu hari penuh. Namun penilaian ini diberi catatan kaki oleh penulis Buku Kerajaan Aceh, Denys Lombard, bahwa penilaian seakan-akan makanan orang Aceh itu sangat sederhana, barangkali diberikan terlalu terburu-buru dan perlu ditambah keterangan; dua hal pasti tidak diperhitungkan penjelajah kita: tidak adanya “waktu makan” yang sebenarnya, artinya saat yang ditentukan oleh masyarakat untuk berkumpul mengisi perut (karena makanan dimakan sedikit-sedikit sepanjang hari). Hal ini juga terjadi karena orang-orang Aceh memiliki banyak hari-hari besar atau perayaan yang juga disajikan makanan dengan melimpah.

Dampier melanjutkan cerita bahwa di pasar ada dijual berbagai unggas, ikan dan daging. Masakan Aceh yang disajikan disebut oleh Dampier, semuanya itu dimasak enak benar dan disedapkan dengan lada dan bawang putih.

Mereka atau orang Aceh sebagaimana dilihat dan dirasakan sendiri oleh penjelajah Eropa ini ketika berkunjung ke Kutaraja Aceh sekitar tahun 1688, mewarnai daging mereka menjadi kuning dengan kunyit supaya lebih sedap dipandang, mereka juga tidak lupa membuat kuah-kuah yang lezat untuk menyedapkan rasanya. Bisa jadi, kuah-kuah yang dimaksud oleh orang-orang Eropa ini adalah kuah beulangong dan berbagai jenis kuah daging lainnya.

Begitulah orang-orang zaman telah banyak meninggalkan warisan budaya. Setiap daerah di Aceh memiliki warisan makanan dengan karakteristik dan ciri khas tersendiri. Peradaban yang ditinggalkan seperti makanan ini adalah warisan budaya tak benda dan menjadi khasanah budaya, oleh-oleh ketika berkunjung ke Aceh.

  • Bagikan
Exit mobile version