Banghas

Perempuan Aceh di Garis Tempur

2848
×

Perempuan Aceh di Garis Tempur

Sebarkan artikel ini
Foto Ilustrasi

Perempuan mencatat diri dengan tinta emas dalam sejarah Aceh dari masa ke masa. Selain memiliki 4 ratu dalam kesultanan Aceh, tercatat belasan pejuang perempuan Aceh gugur dalam perang kolonial melawan Belanda.

Sejarah nasional hanya menoreh 3 nama besar pahlawan nasional perempuan dari Aceh, yaitu Cut Nyak Dhien, Cut Mutia dan Laksamana Malahayati. Namun dalam perang Aceh mencatat adanya pahlawan-pahlawan perempuan lainnya yang gigih berjuang sampai akhir. Tidak sekedar membuat Belanda takut, tetapi kegigihan bertarung tanpa menyerah membuat sejumlah perwira Belanda menaruh rasa hormat.

Berikut beberapa kisah kepahlawanan pejuang perempuan yang dicatat oleh tentara Belanda sendiri, dalam kesaksian lapangan perang Aceh.

**
Memilih mati tanpa diobati, tak mengerang sakit apalagi meminta belas kasih itulah watak keras perempuan Aceh ketika ditawan, ditulis penuh emosi oleh Henri Carel Zentgraaff (H.C. Zentgraaff), Sersan juru tulis Belanda.

Zentgraaff menulis “perannya di dalam peperangan sampai sekarang pun sukar untuk di nilai dan biasanya aktif sekali. Wanita Aceh, gagah berani, adalah penjelmaan dendam kesumat terhadap kita (Belanda) yang tidak ada taranya serta tak mengenal damai. Jika ia turut bertempur, maka tugas itu dilaksanakannya dengan suatu energi yang tidak kenal maut dan biasanya mengalahkan prianya. Ia adalah pengemban dendam yang membara yang sampai-sampai ke liang kubur atau dihadapan maut pun masih berani meludah ke muka si ‘kaphe’ (kafir sebutan untuk Tentara Belanda) ….”

Pocut Meurah Intan tetap menunjukkan keberaniannya menghadapi 18 orang pria yang ingin membekuknya. Bersenjatakan rencong, dia menyabet satu per satu prajurit Belanda. Meski dia sendiri terluka parah dalam serangan itu hingga tak bisa lagi mengayunkan senjatanya.

Sebuah kisah lain di
catat Letnan Veltman ketika berusaha menolong Pocut Meurah Intan yang terluka karena tertembak namun menolak diobati.

Satuan elite Belanda, Marechaussee atau Marsose mengejar Pocut dengan menurunkan 18 prajurit terbaik. Tapi ini bukanlah tugas yang mudah bagi Marsose. Pasukan anti gerilya paling ditakuti dikalangan Belanda ini bersusah payah memburu dan berjibaku melawannya.

Bersenjatakan sebilah rencong, Pocut menyabet satu per satu prajurit Belanda. Dia tak berhenti menyerang hingga tak bisa lagi mengayunkan senjatanya.

Potjut Meurah mengalami banyak luka di tubuhnya. Dia pun ditangkap bersama seorang anaknya, kemudian dibuang ke Blora, Jawa Tengah. Potjut Meurah wafat di usia senja pada 20 September 1937. Ia di makamkan di Desa Tegal Sari, Blora.

Kolonel Scheur atasan Letnan Veltman memuji wanita itu dan menjulukinya ‘Heldhafting’ ‘yang gagah berani’. Scheur berkata “Katakan kepadanya bahwa saya merasa sangat kagum kepadanya Letnan,”.

**
Hal mencengangkan juga dirasakan Kapten H.J Schmidt, perwira Belanda yang mahir berbahasa Aceh, ketika memimpin pengejaran terhadap keturunan Teungku Chiek Di Tiro pada tahun 1910. Ketika dia menawan isteri Teungku Chik Mayet bernama Cut Mirah Gambang, dengan berbahasa Aceh menawarkan air minum dan meminta izin mengobati lukanya. Isteri pejuang yang tak menyerah sampai akhir ini dengan lantang berujar “Bek kamat kaphe budok! (Jangan menyentuh kafir kusta).

Akhirnya putri Cut Nyak Dhien dari pernikahannya dengan Teungku Ibrahim Lamnga meninggal dalam pertempuran tersebut di Gunong Halimon pada 21 Mei 1910.

Begitulah semangat juang perempuan pejuang Aceh yang tak gentar dalam kepungan musuh biarpun tinggal seorang diri. Baginya harkat martabat bangsa adalah segala-galanya, dan pahala syahid lebih dicari daripada gelar kebengsawanan semu.(Hasnanda Putra)