Oleh Bung Syarif*
LAHIRNYA Qanun Kota Banda Aceh Nomor 5 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), sejatinya menjadi pedoman bagi warga kota Banda Aceh dan jajaran pejabatnya.
Semangat lahirnya qanun ini bertujuan antara lain: Pertama, melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya akibat merokok; Kedua, menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat; Ketiga, membudayakan hidup sehat; Keempat, menekan angka pertumbuhan perokok pemula, dan; Kelima, membatasi ruang bagi perokok, pemasaran dan pengiklanan.
Bahaya bagi Kesehatan
Rokok mengandung zat adiktif yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dapat menimbulkan berbagai penyakit, seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke, penyakit paru onstruktif kronik, kanker paru, kanker mulut, impotensi, kelainan kehamilan dan janin.
Asap rokok tidak hanya membahayakan perokok, tetapi juga orang lain di sekitarnya (perokok pasif).
Asap rokok terdiri dari asap utama yang mengandung 25% kadar bahan berbahaya dan asap rokok sampingan yang mengandung 75% kadar berbahaya.
Asap rokok mengandung lebih dari 4.000 jenis senyawa kimia. Sekitar 400 jenis di antaranya zat beracun dan 69 jenis tergolong zat penyebab kanker.
Karena itulah qanun ini menjadi penting untuk diimplementasikan. Bukan hanya indah dalam tataran norma, tapi hampa dalam implementasinya.
Qanun ini menyebutkan implementasi KTR meliputi; perkantoran pemerintah, perkantoran swasta, sarana pelayanan kesehatan, sarana pendidikan formal dan informal, arena bermain anak, tempat ibadah, tempat kerja yang tertutup, sarana olahraga yang sifatnya tertutup, tempat pengisian bahan bakar, halte, angkutan umum dan tempat umum yang tertutup lainnya.
Karena itu, setiap orang dilarang merokok di KTR. Larangan ini, bukan hanya merokok ansich tetapi juga larangan untuk menjual, mempromosikan, mengiklankan pada locus yang telah disebutkan di atas.
Pertanyaan kemudian coba Tuan dan Puan cek, apakah qanun ini berlaku efektif atau hanya dianggap angin lalu saja?
Qanun ini juga memberi mandat kepada Pimpinan OPD untuk melakukan pembinaan dan pengawasan internal di KTR yang menjadi tanggung jawabnya.
Melarang setiap orang untuk merokok di KTR yang menjadi tanggung jawabnya serta memasang tanda-tanda dilarang merokok sesuai persyaratan pintu masuk utama dan tempat-tempat yang dipandang perlu dan mudah dibaca.
Karena itulah pimpinan OPD perlu menyiapkan ruang khusus merokok yang terbatas. Lantas apa konsekwensinya jika Pimpinan OPD tidak mengindahkan qanun ini?
Jawabannya diberikan sanksi berupa teguran lisan, peringatan tertulis, penundaan kenaikan pangkat, non aktif dari jabatan serta sanksi administrasi lainnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Sanksi Pidana
Qanun ini juga memberikan sanksi pidana bagi setiap orang yang merokok di area KTR berupa pidana kurungan paling lama 3 hari dan atau denda paling banyak Rp. 200.000 (dua ratus ribu rupiah).
Sementara bagi yang memperjual belikan rokok di tempat KTR dikenakan pidana kurungan paling lama 5 hari dan atau denda paling banyak Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah).
Sementara bagi badan usaha yang mempromosikan dan mengiklankan rokok ditempat atau area KTR dipidana kurungan paling lama 14 hari dan atau denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
Jika badan usaha memperjualbelikan rokok di tempat atau area yang dinyatakan KTR dipidana kurungan paling lama 10 hari dan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah).
Jika kita mau jujur, maka qanun ini sangat hambar, bahkan secara radikal bisa dikatakan layak dicabut, karena tidak efektif dalam penerapannya.
* Penulis adalah Pengurus ICMI Kota Banda Aceh periode 2024-2029, Dosen Legal Drafting FSH UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.