Oleh Bung Syarif*
Di penghujung 2024 lalu, seorang wali santri Dayah Salafiyah (Tradisional) menyampaikan kepada kami, bagaimana caranya agar ijazah anaknya diakui negara? Soalnya dayah yang kini tempat ia mondok tidak ada sekolah, murni belajar kitab kuning (kitab turats).
“Saya berkeinginan agar ia suatu saat bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, atau bekerja pada instansi pemerintah, jadi butuh ijazah,” kata seorang Ibu, wali santri itu.
Saya terdiam sekejap, lantas saya tanya di mana anak Ibu mondok? Ibu itu yang menggendong anak kecil di pangkuannya menjawab di salah satu dayah tradisional yang ada di Kota Banda Aceh (tidak elok saya sebutkan nama dayahnya).
Ini hanya secuil kisah. Lalu saya menyarankan agar mengambil Paket C atau A. Ini adalah alternatif pilihan yang tepat. Saya pun menghubungi kolega yang menangani jalur paket di dunia pendidikan.
Dua Jalan Bijak
Sebenarnya negara telah memberikan dua jalan bijak bagi dayah tradisional agar ijazah santrinya diakui negara yaitu; program Satuan Pendidikan Diniyah Formal (SPDF) dan Satuan Pendidikan Muadalah (SPM). Dua program ini adalah jalan bijak yang mempertahankan khazanah ke aslian dayah tradisional.
Lalu kenapa masih ada dayah tradisional belum memahaminya?
Inilah butuh gerakan dakwah yang masif, terstruktur serta elegan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren membawa angin segar dan haluan baru dalam pembinaan Pondok Pesantren (Pontren) atawa dayah.
Di mana tujuan penyelenggaraan pendidikan pontren yaitu; mencetak individu yang unggul di berbagai bidang ilmu, mengamalkan nilai-nilai agama, berimtaq, moderat, dan cinta Tanah Air.
Karena itulah sejatinya kehadiran pontren atawa dayah harus benar-benar memiliki spirit sebagaimana amanah konstitusi. Pakem dayah harus jelas dan terang benderang, kiyai dan gurunya harus benar-benar selektif, jangan serampangan mengaku sebagai pimpinan dayah, sementara keilmuan dan keadabannya bermasalah.
Nasab keilmuannya harus bersanad, prilakunya harus terpuji, gagasannya harus inovatif serta cinta Tanah Air. Jangan sampai seperti Syech Panji Gumilang yang membangun opini liar, serta menyesatkan pikiran santrinya. Gedung megah tidak menjamin kesucian keilmuan di dalamnya, hehe. Di sini boleh Tuan dan Puan berbeda pandangan dengan saya.
Pontren atawa dayah harus mengikuti kebijakan negara agar ijazah alumninya diakui oleh negara. Dalam konteks bernegara dayah dibagi dua yaitu Dayah Salafiyah (tradisional) serta Terpadu/Modern.
Ada juga sebagian yang berpendapat dayah di bagi tiga, yaitu dengan memasukkan Dayah Tahfidz/Ulumul Qur`an, walaupun jika kita selami lebih dalam regulasi Ulumul Qu`an/Tahfidz Qur`an hanyalah takhasus dalam pentadbiran dayah. Tapi saya tidak mau berdebat masalah itu, hehe.
Ketiga institusi/Satuan Pendidikan Agama Islam baru diakui sebagai dayah/pontren jika memenuhi rukunnya yaitu: Pertama; memiliki kiyai/pimpinan atau sebutan lain, merupakan sosok insan yang kharismatik dan mumpuni Ilmu Agama;
Kedua, ada santri yang mondok minimal 15 orang, bukan santri kalong (yang hanya belajar malam saja); Ketiga: ada bilik atau asrama; Keempat, adanya kajian kitab turats (kitab gundul arab), dan; Kelima, ada mushalla/masjid (tempat ibadah) yang digunakan sebagai tempat riyadhah (pengajaran spiritual).
Kelima rukun tersebut wajib ada. Jika salah satu saja tidak terpenuhi maka belum dikualifikasi sebagai pontren atawa dayah.
Program PDF dan SPM
Akan tetapi pemenuhan rukun ini belum sempurna jika tidak mengikuti kebijakan negara, khususnya dayah salafiyah (tradisional) harus mengambil program Pendidikan Diniyah Formal (PDF) atawa Satuan Pendidikan Muadalah (SPM).
Khusus untuk jenjang perguruan tinggi dikenal dengan Ma`had Aly sesuai dengan regeling Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020. Jika telah mengambil ketiga program ini, maka ijazahnya diakui oleh negara dan dapat mengikuti seleksi di semua profesi yang ada seperti ASN, TNI/Polri, serta berbagai profesi lainnya.
Ijazah PDF/SPM jenjang Ula dan Wustha (setara SD dan SMP) serta Ulya (setara SMA) bagi yang lulus PDF/SPM Ulya dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, karena ijazahnya diakui oleh negara. Program ini dikeluarkan izin operasionalnya oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.
Alhamdulillah sejak 2020 beberapa dayah salafiyah (tradisional) di kabupaten/kota di Provinsi Aceh telah mengambil program ini, seperti Dayah Raudhatul Maarif, Malikussaleh, dan Babussalam di Aceh Utara.
Kemudian dayah Raudhatul Munawwarah di Pidie Jaya, Darussalam Al Waliyah di Labuhan Haji (Aceh Selatan), Markaz Al Islah Al Aziziyah di Banda Aceh, dengan program PDF Wustha Al Ishlah Al Amiriyah, PDF Ulya Al Ishlah Al Hanafiyah.
Di penghujung 2024, sejumlah dayah tradisional di Banda Aceh telah keluar izin operasional SPM, yaitu Dayah Mini Aceh, Dayah Misbahussalihin Al Waliyah, serta Dayah Al Fatani Darussalam. Ini membuktikan pimpinan dayah tradisional sudah memahami betul urgensi legalitas ijazah. Lalu bagaimana mekanisme pengurusan izin SPM?
Berikut ulasan singkatnya: Pertama, dayah tersebut berbadan hukum yang disahkan oleh Kemenkumham; Kedua, usia dayah minimal 3 tahun (sejak keluar ijop dari Kankemenang RI); Ketiga, jumlah santri mondok minimal 120 orang yang terdata di portal E-Mis, dan;
Keempat, jumlah guru minimal 5 orang, jumlah tenaga kependidikan minimal 2 orang yang terdiri dari pimpinan, administrasin pustaka, laboratorium. Ini minimal jika ada tenaga lain sesuai kebutuhan dayah jauh lebih bagus.
Hal-hal teknis dapat menghubungi langsung pakar SPM dan PDF Tgk Rakhmad Mulyana, Mahasiswa S3 kosentreasi SPM UIN Ar-Raniry/Ketua Tim Kerja Pendidikan Muadalah, PDF dan Ma`had Aly, Bidang Pendidikan Pondok Pesantren Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh (Hp. 082211788876).
Sebagai informasi tambahan, hasil diskusi kami dengan beliau hingga larut malam di Hana Karu Coffe, 10 Januari 2025. Ia menyebutkan menjaga tradisi keautentikan dayah tradisional adalah dengan mengambil program SPM dan PDF, serta Ma`had Ali untuk jenjang perguruan tinggi.
Progres capain kinerja yang luar biasa kini untuk Aceh, di mana sejak 2007 hingga 2022 Aceh memiliki 10 SPM dan 2 PDF, sementara sejak 2022 hingga 2024 Aceh memiliki 112 SPM dan 17 PDF, serta Ma`had Aly sebanyak 6.
Pentingnya Legalitas Ijazah
Ini membutktikan Abu pimpinan dayah tradisional di Aceh sudah memahami dengan jelas pentingnya legalitas ijazah agar santrinya bisa bersaing dan bersanding di berbagai bidang dalam bernegara.
Kemudian, pada 2025 ini ada beberapa Dayah di Banda Aceh berpotensi mengajukan SPM/PDF antara lain; Madinatul Fata, Nidhamul Fata, Darul Fikri Al Waliyah, Darul Mufadzal Al Aziziyah, Raudhatul Jannah Ateuk Jawoe, Mabdaul Ulum Al Aziziyah, Darul Mufadzal Al Aziziyah, serta Misrul Huda Malikussaleh.
Itu berdasarkan amatan kami dilapangan melihat dari aspek persyaratan yang diatur dalam regulasi serta santri mondok yang terus bertambah signifikan.
PDF dan SPM, serta Ma`had Aly sesunguhnya menjaga tradisi keautentikan dayah tradisional. Tentu kami patut bersyukur beberapa dayah salafiyah (tradisional) di Banda Aceh sudah memahami arti pentingnya legalitas ijazah yang dikeluarkan, sehingga ruhnya dayah tradisional benar-benar autentik.
Biarkan kehadiran sekolah umum dikembangkan di dayah terpadu/modern. Jika dayah tradisional tidak mengambil kebijakan negara, maka ijazah alumninya kurang bermakna karena negara tidak mengakuinya.
Banyak wali santri yang melapor pada kami, solusinya mari ambil program PDF atawa SPM. Karena kita hidup bernegara bukan dalam ruang hampa.
Jika tidak, suatu saat dayahnya akan ditinggalkan peminat (santrinya) atau setidaknya identitas alumni dayah hilang karena santri akan cendrung mengambil jalur Paket A atau Paket C. Sehingga pada saat kita cek legalitas formal ijazah santrinya tidak muncul lagi nama dayah tempat ia mondok, tentu ini sangat dirugikan dayahnya.
* Penulis adalah Magister Hukum Tata Negara USK, Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Banda Aceh, Ketua Komite Dayah Terpadu Inshafuddin (DTI), Fasilitator (Pro DAI) Unicef-YaHijau, Dosen Legal Drafting FSH UIN Ar-Raniry, Mantan Sekjen DPP ISKADA Aceh, Mantan Ketum DPD Jaringan Nusantara Aceh, Mantan Ketum Remaja Masjid Raya Baiturrahman, Pengurus ICMI Kota Banda Aceh, PW Syarikat Islam Aceh.