Banghas

Jejak Emas dalam Kabut Aceh

210
×

Jejak Emas dalam Kabut Aceh

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi penambang emas masa kesultanan Aceh (Ai)

Di balik kabut pegunungan dan aliran sungai yang membelah hutan tropis, Aceh pada abad ke-17 bukan hanya dikenal sebagai “Serambi Mekah”, tetapi juga sebagai tanah emas. Denys Lombard, sejarawan Prancis, dalam karyanya Kerajaan Aceh menyebut ratusan titik tambang emas di pedalaman yang digarap rakyat dengan cara sederhana. Emas menjadi denyut kehidupan: dipakai sebagai alat tukar, dipahat menjadi perhiasan, dan dijadikan bekal kekuasaan para sultan.

Para penjelajah asing yang singgah di Aceh mencatatnya dengan kagum sekaligus serakah. François Pyrard de Laval, pelaut Prancis yang terdampar di Nusantara awal abad ke-17, menulis tentang keindahan perhiasan emas orang Aceh yang berkilau di pasar Kutaraja. Beberapa dekade kemudian, pedagang dan pengelana Inggris, William Dampier, mendengar kabar tentang sungai-sungai di hulu yang “mengandung emas, dicuci setiap musim oleh penduduk pribumi dengan panci dan ayakan.”

(Kutipan nyata: “waktu Tuan Croc … orang Aceh menghadiahinya sebuah batu sebesar telur bebek yang kelihatan ada garis-garis emas besar-besar seperti urat-urat yang nampak pada tangan manusia …”) — catatan dari sumber Belanda/Perancis, melukiskan penghiburan atau hadiah dari rakyat kepada utusan asing menyimbolkan kekayaan emas Aceh.

Di sisi kota, gemerlap emas tak hanya menarik pedagang, tetapi juga mereka yang haus akan status dan pesta. Dampier dalam catatannya mengisahkan:

“… apabila ia kembali ke kota, ia biasanya mengunjungi kaberet Inggris … di sanalah ia menghambur-hamburkan emasnya.”

Seorang penambang alluvial, dengan kaki telanjang dan panci logam sederhana, jongkok di tepian sungai. Mereka mengayak kerikil, menunggu kilau kecil yang bisa menjadi rezeki sehari. Seorang pandai emas — kerap perempuan yang mewarisi keahlian dari leluhur — akan melebur serpihan itu, mengubahnya menjadi cincin, gelang, atau hiasan yang kelak melintas ke tangan pedagang India, Persia, bahkan Eropa.

Kesultanan Aceh mengatur dan memetik hasil dari emas. Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607–1636), emas menjadi bagian dari strategi kekuasaan: menopang belanja istana, membiayai armada laut, sekaligus menjadi simbol kebesaran. Dalam istana, emas hadir bukan hanya sebagai perhiasan, melainkan sebagai lambang marwah negeri.

Namun emas Aceh juga menghadirkan ironi. Di satu sisi ia memikat pelaut asing yang rela menempuh samudra; di sisi lain, ia melahirkan ketegangan antara rakyat penambang, elite penguasa, dan pedagang asing yang ingin menguasai jalur emas. Sungai-sungai yang pernah jernih perlahan terkikis, kampung-kampung penambang berpindah mengikuti aliran emas yang makin sulit dicari.

Meski begitu, kisah emas Aceh bukan hanya soal logam. Ia adalah kisah manusia yang mencari cahaya dalam lumpur, kisah kerajaan yang mencoba menakar kejayaan lewat kilau mineral, dan kisah dunia yang menyadari bahwa di tanah ujung barat Sumatra, ada sebuah negeri kecil yang kaya mampu mengguncang jalur perdagangan samudra.

Dari serpihan emas kecil yang ditemukan di hulu Krueng, hingga kapal-kapal layar Belanda dan Inggris yang singgah di Banda Aceh, semuanya membentuk satu cerita panjang: bahwa emas Aceh bukan sekadar komoditas, melainkan sebuah mitos, sebuah cahaya, dan sebuah perebutan abadi. (Hasnanda Putra)