Banghas

Hasan Dek, Pemimpin Aceh yang Mengguncang Tokyo

138
×

Hasan Dek, Pemimpin Aceh yang Mengguncang Tokyo

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi T Hasan Dek, Ketua Rombongan Kunjungan Pejabat Bumi Putera se-Sumatera ke negeri Jepang tahun 1943. (Ai)

Di Banda Aceh, sebuah nama menghiasi papan jalan—Teuku Hasan Dek. Nama itu seperti bayang-bayang yang akrab namun tidak seluruh kisahnya tersibak. Banyak yang melintas tanpa tahu bahwa di balik nama itu ada seorang pemimpin yang hidup dengan keberanian yang nyaris langka, seorang Aceh yang mengaum sampai Tokyo demi Indonesia yang bahkan belum merdeka. Ia lahir tahun 1892 di Geulumpang Payong, Pidie—sebuah tanah yang sejak lama melahirkan hulubalang dan pemimpin yang tabah menghadapi zaman.

Hasan Dek, atau Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong, tumbuh di masa ketika Aceh baru saja melewati perang panjang dengan Belanda. Udara yang ia hirup dipenuhi ingatan tentang perlawanan, tentang martabat, tentang rakyat yang tak menyerah. Mungkin dari situlah watak keras dan jujurnya bertunas. Ketika menjadi pegawai tinggi di kantor Residen Atjeh (1921–1935), ia tidak tenggelam dalam gaya hidup kolonial. Ia berjalan ke kampung, bertemu ulama, dan mendengar suara masyarakat. Pada masa yang sama ia juga menjadi konsul Muhammadiyah Aceh—sebuah peran yang menegaskan bahwa bagi dirinya, pendidikan dan perubahan sosial lebih penting daripada kedudukan.

Pada 1935, ia kembali ke akar: diangkat sebagai hulubalang Geulumpang Payong. Di tengah dinamika Aceh yang terus berubah, Hasan Dek berdiri sebagai pemimpin yang dekat namun berkarakter tegas. Orang Belanda menyebut dirinya Hasan Dick, sebutan yang memadukan kekaguman dan ketidaktahuan mereka tentang kekuatan karakter orang Aceh. Bagi rakyatnya, ia tetap Hasan Dek—pemimpin yang lahir dari tanah yang sama dengan mereka.

Ketika Jepang masuk pada 1942, perubahan besar melanda seluruh Aceh. Banyak pejabat lokal dipaksa memilih: mengikuti arus Jepang atau tersingkir tanpa ampun. Hasan Dek menerima jabatan Gunco Sigli, lalu Kutaraja. Dari luar, ia tampak bekerja dalam struktur pemerintahan Jepang. Namun dari dekat, ia justru mengawasi cermat: Aceh tidak boleh menjadi tanah propaganda.

Pada 1943, datang undangan yang kelak mengubah nasibnya: ia ditunjuk menjadi Wakil Ketua rombongan pejabat Bumiputera se-Sumatera yang berkunjung ke Jepang. Jepang ingin menunjukkan kekuatan mereka, ingin bangsa-bangsa terjajah percaya bahwa “saudara tua” itu layak dihormati. Tetapi Hasan Dek membawa sesuatu yang tidak mereka perhitungkan: keberanian Aceh.

Di Tokyo, di hadapan Perdana Menteri Jepang, ia bukan tamu yang datang membawa pujian. Ia justru berbicara tentang Indonesia, tentang cita-cita bangsa yang ingin merdeka. Ia menyampaikan pandangan yang tajam, jujur, tanpa takut mengusik tuan rumah. Pada masa ketika kata-kata bisa lebih mematikan daripada peluru, keberanian itu membuat banyak pihak terdiam.

Sepulang dari Jepang, penguasa militer memintanya berbicara di depan rakyat Aceh, di halaman Masjid Raya Baiturrahman, untuk memuji kejayaan Jepang. Namun pertengahan 1944 adalah masa ketika kabar kekalahan Jepang di Pasifik mulai terdengar. Amerika Serikat menyerang balik. Banyak rakyat mulai meragukan propaganda. Dan Hasan Dek, dengan ketegasan yang sama sejak awal hidupnya, menolak menjadi corong kekuasaan.

Ia menolak berdiri di mimbar Mesjid Raya. Ia menolak memuji. Ia menolak berbohong.

Perlawanan itu dibayar mahal. Jepang menangkapnya. Ia dibawa ke Pancurbatu, Sumatera Utara. Di sana, Polisi Militer Jepang—Kompetai—menyiksanya tanpa ampun. Tubuhnya hancur, tetapi hatinya tidak pernah menyerah. Pada Juli 1944, ia wafat. Setahun sebelum Indonesia merdeka, ia sudah lebih dulu membayar dengan darah.

Kini, ketika nama Teuku Hasan Dek terpasang di sebuah jalan utama Banda Aceh, kita sesungguhnya sedang melintasi jejak keberanian. Ia bukan pahlawan yang berteriak di medan perang, tetapi pemimpin yang memilih ketegasan ketika masa gelap menuntut kepatuhan. Ia bukan sekadar pejabat, tetapi penjaga martabat. Ia bukan sekadar tokoh lokal, tetapi harimau yang mengaum jauh di negeri sakura demi bangsa yang belum lahir sepenuhnya.

Warisan itu tak pernah padam. Dalam setiap langkah di jalan yang memakai namanya, seolah ada bisikan sejarah: Keberanian tidak selalu menang, tetapi ia selalu benar. (Hasnanda Putra)