Opini

Esensi ‘Maqasid Syariah’ Pensyariatan Puasa Ramadan

2013
×

Esensi ‘Maqasid Syariah’ Pensyariatan Puasa Ramadan

Sebarkan artikel ini
Dr. Muhammad Syarif, S.Pd.I, MA

Oleh: Dr. Muhammad Syarif, S.Pd.I, MA*

Pembahasan tentang maqasid syariah dalam konteks pensyariatan Hukum Islam (Fiqh) merupakan suatu sisi kajian yang penting dipelajari, baik terkait landasan epistemologis Hukum Islam, penerapannya, maupun dalam berbagai nilai filsafat yang menjadi tujuan dari pensyariatan hukum, termasuk dalam maqasid puasa Ramadhan.

Pensyariatan puasa bukanlah sekadar aktivitas ibadah simbolik tahunan tanpa nilai dan makna, melainkan memiliki misi besar dalam pembentukan kepribadian seorang muslim. Oleh sebab itu, penting untuk memahami dimensi maqasid shariah dalam pensyariatan ibadah puasa dengan model pengetahuan yang filosofis dan mendalam.

Harapannya agar dapat melahirkan pemahaman atas tujuan pensyariatan ibadah puasa yang tidak sekadar pada aspek eksoterisme legal formalistik berupa aspek luar, formal, dogma, ritual, etika atau moral sebuah aturan fiqh, namun esoterisme yang menekankan kajian pada aspek batin merupakan bentuk atau inti dari aktualisasi ibadah puasa juga menjadi penting untuk dipahami.

Maqasid Syariah Ibadah Puasa Ramadhan

Bahwa setiap apapun bentuk perintah atau larangan Allah Swt tentu mempunyai hikmahnya, baik dalam konteks hukum ibadah (mahdhah) maupun muamalah. Hikmah dalam suatu perintah hukum Allah Swt ada yang dapat dirasionalkan dan ada yang tidak.

Demikian halnya dalam setiap bentuk perintah beribadah, khususnya ibadah mahdhah yang memuat maksud, tujuan atau hikmah tersendiri dalam pelaksanaannya. Meski demikian, esensi penetapan ibadah dan perintah secara mutlak untuk dilaksanakan serta tujuan hakiki yang terkandung di dalamnya hanya Allah Swt yang Maha Mengetahui.

Tulisan ini berupaya mengeksplorasi sekaligus mengidentifikasi nilai maqasid syariah yang dapat digali dari ritualitas ibadah puasa Ramadhan.

Hifz Din

Dalam konteks puasa, wujud peningkatan nilai keimanan dalam ritualitas ibadah tersebut tercermin dari pelaksanaannya yang disertai keyakinan bahwa segala aktivitas dalam berpuasa senantiasa diawasi oleh Allah Swt. Di mana sejatinya seseorang yang sedang berpuasa mudah untuk melakukan kebohongan publik, yakni dengan berpura-pura tidak makan dan tidak minum di depan orang lain.

Konsep maqasid syariah nilai keimanan dalam ritualitas ibadah puasa ini dapat disebut sebagai nilai eksoterisme yang menjadi bagian dari tujuan pensyariatan ibadah puasa. Di mana penting disadari kembali bahwa dimensi maqashid syariah dalam sebuah ibadah tidak hanya sekedar pada sisi eksoteris legal formal fiqh semata, seperti, syarat, rukun dan hal-hal yang dapat membatalkan keabsahannya. Namun penting juga diperhatikan sisi esoteris dari tujuan pensyariatan ibadah puasa, seperti, peningkatan keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan keberagamaan seorang muslim. Sisi esoteris ibadah puasa berkaitan erat dengan dimensi batin.

Hifz din (memelihara eksistensi agama) sebagai salah satu nilai maqasid syariah dalam konteks pensyariatan kewajiban puasa ramadan dapat berupa nilai esoterisme terkait implikasi keimanan dalam kehidupan keberagamaan seorang muslim. Implikasi peningkatan keimanan dari ritualitas ibadah puasa dapat dikatakan sebagai bentuk perluasan pemaknaan atas dimensi konsep hifz din menjadi hifz itiqadiah (memelihara akidah/keimanan) seorang muslim. Peningkatan keimanan ini dipandang sebagai bentuk manifestasi nilai pensyariatan ibadah puasa ramadan.

Hifz Nafs

Kata imsak (menahan) sebagai kata kunci dalam pelaksanaan ibadah puasa bukan hanya berarti tindakan menahan perkara-perkara yang dilarang, seperti makan, minum, berhubungan intim pada siang hari. Namun juga bermakna aktivitas menahan dari berbagai keinginan atau godaan hawa nafsu. Hal demikian disebabkan sejatinya puasa tidaklah ibadah yang menekankan pada aspek aktivitas jasmani semata, melainkan juga aktivitas nafsani.

Tentunya ibadah puasa dapat menjadi momentum pendidikan karakter kepribadian seorang muslim yang menjadi bagian dari pensyariatan hukum Islam (maqasid syariah). Dalam konteks ini dapat dimasukkan dalam nilai hifz nafs (memelihara jiwa), sebab melalui ibadah puasa diharapakan dapat melahirkan pribadi muslim yang memiliki sikap kesabaran dan keiklasan.

Selanjutnya, nilai tujuan pendidikan karakter yang termuat dari ritualitas ibadah puasa dapat dikatakan sebagai bentuk perluasan pemaknaan atas dimensi konsep hifz nafs menjadi hifz akhlaqiyah (memelihara akhlak). Perluasan makna hifz nafs menjadi hifz akhlaqiyah berupa pendidikan karakter sebagai bagian maqasid shariah dari ibadah puasa yang merupakan hal paralel dengan konsep jiwa manusia seutuhnya (insan kamil) dalam perspektif tasawuf. Pada konteks insan kamil, keberadaan jiwa manusia meliputi aspek jasmani maupun rohani, fisik maupun psikologis, individual maupun makhluk sosial.

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa terdapat enam etika (adab) dalam menjalankan ibadah puasa, antara lain; mengkonsumsi makanan yang halal dan baik, menjauhi perselisihan, menghindari ghibah (menggunjing orang lain), menghindari berbohong, tidak menyakiti orang lain, menjaga anggota badan dari segala perbuatan tercela.

Oleh karena itu, jika seorang muslim memahami dengan baik dan menjalankan ajaran Islam yang termuat dalam pensyariatan ibadah puasa, maka akan dapat tercermin melalui karakter yang baik atau kemuliaan perilakunya dalam kehidupan sehari-harinya.

Hifz Maal

Dalam hal ini, puasa dimaksudkan sebagai sarana dan latihan untuk memaksimalkan fungsi kemanusiaan. Di mana, saat berpuasa berarti manusia telah menjaga martabatnya dari perbuatan hina di mata Allah Swt dan menjaga hubungan baik dan peduli dengan sesama. Ketika umat muslim telah melakukan ibadah puasa maka empati dan simpatinya telah diasah sehingga dapat merevitalisasi jiwa kepedulian dan rasa sosial yang tinggi.

Pada saat menjalankan ibadah puasa, kita dilatih untuk memiliki rasa kepedulian kepada kondisi orang lain dan lingkungan sekitar. Hal demikian tidak hanya karena sama-sama dalam kondisi merasakan lapar dan haus semata, melainkan juga terkait bagaimana kita dapat saling menumbuhkan sikap kepedulian sosial.

Yusuf Al-Qardhawi menuturkan bahwa semangat kerekatan sosial dalam diri seorang muslim yang berpuasa merupakan bentuk implikasi sosial dari ritualitas ibadah puasa yang tumbuh dari kondisi sama-sama merasakan penderitaan dan kepedihan atas kurangnya kesejahteraan ekonomi yang dialami oleh orang-orang fakir dan miskin, seperti halnya rasa kekurangan dan kelaparan.

Jadi, kepedulian sosial sebagai manifestasi nilai hifz mal dalam pensyariatan ibadah puasa merupakan maqasid yang berkaitan erat dengan bentuk kepedulian terhadap sesama manusia. Dengan demikian, nilai kepedulian sosial yang mengikuti pelaksanaan ibadah puasa, baik pada bentuk pemberian sedekah atau pembayaran wajib zakat fitrah dapat dikatakan sebagai bagian dari tujuan pensyaraiatan hukum Islam dalam perintah kewajiban ibadah puasa ramadan.

Simpulannya, bahwa maqasid shariah dalam ibadah puasa ramadan dapat menjadi momentum seseorang muslim untuk senantiasa berevolusi diri menjadi pribadi yang lebih baik, dengan upaya peningkatan keimanan sebagai orientasi hifz din, pendidikan karakter sebagai orientasi hifz nafs, dan kepeduliaan sosial sebagai orientasi hifz mal (memelihara harta). Semoga!

* Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh, dan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Alumni Dayah (DPP ISAD) Aceh.