Oleh Bung Syarif*
Di kalangan anak korban konflik, Tgk H Bulqaini Tanjungan adalah ’ayah’ teladan. Berkat ’tangan dingin’ lelaki itulah banyak anak yatim piatu di Aceh bisa menikmati hidup tanpa dendam. Dan, sebuah dayah pun didedikasikan untuk itu.
Markaz Al Ishlah Al-Aziziyah nama lembaga itu. Selain sebagai pusat pendidikan agama, dayah ini juga sentra pendidikan untuk anak-anak Aceh korban kekerasan. Luasnya kurang lebih 5.000 meter persegi. Lokasinya pun dikelilingi rawa dan genangan air.
Pada 2017 sudah mampu menampung 93 anak yatim korban konflik dan korban tsunami. Lembaga itu dibangun atas jerih payah Tgk Bulqaini sendiri. ”Ya, hanya inilah yang sanggup saya beli untuk menampung anak-anak,” kata pria bersorban yang akrab disapa dengan panggilan Tu Bulqaini itu.
Dia membeli areal itu pada 2001. Pilihannya jatuh ke Banda Aceh, karena pada saat itu kondisinya relatif aman. Ayah tiga putra itu tadinya tidak menyangka bisa memenuhi mimpinya, yakni membeli tanah.
Soal tanah ini, Bulqaini bercerita. Secara kebetulan, pada 2001 dia diundang ke Amerika Serikat untuk mengikuti perkembangan Islam di negeri adidaya tersebut. Tapi sebelum itu tercapai, ada kisah lain yang selalu menyentak-nyentak batinnya.
Suatu ketika, kisah dia, saat dirinya membaca sebuah tabloid ibukota yang memuat foto Letjen TNI Prabowo di cover depan. Saat itu Prabowo adalah Danjen Kopassus. Lalu, tabloid itu ia tunjukkan kepada sejumlah anak sekolah di kampungnya sambil bertanya, ”Kah nyoe ka turi so nyoe (kalian kenal siapa ini)?”
Jawaban yang didengar amat mengagetkan. Serentak anak-anak menjawab, ”Itu Pai”, pembunuh orang tua kami.”
Mendengar itu, bumi yang dipijaknya terasa gempa. Terkejut bukan kepalang. Ia yakin, yang dituding itu bukan yang terpampang gagah di sampul majalah. Namun, karena foto itu memperlihatkan seseorang yang berseragam militer. Beberapa anak di desa memang sangat trauma dengan tentara.
Mendengar jawaban itu, pikiran Bulqaini menggelegak. ”Kalau dibiarkan trauma pada anak-anak Aceh akan penuh dendam di masa depan. Konflik tidak akan pernah selesai,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Tu Bulqaini merasa berkewajiban memberikan penyadaran kepada anak-anak Aceh agar mencintai sesama, tidak boleh ada dendam kusumat.
Sejak saat itu, ia pun bertekad mendirikan pusat rehabilitasi anak agar dendam mereka bisa hilang. “Saya ingin anak-anak Aceh melupakan dendam kesumatnya,” katanya meski ia sendiri mengakui tak mudah melupakannya, apalagi menyatukan dua dendam.
Mudah atau tidak, suami Rosmaida Umar itu, tetap ingin mewujudkan mimpinya. Dan itu baru terlaksana selepas pulang dari Amerika Serikat pada 2001. Tu Bulqaini bertandang ke negeri Paman Sam atas undangan Kedutaan Besar AS, guna melihat perkembangan Islam, pendidikan dan budaya di sana.
Nah, sisa uang saku sebesar Rp 35 juta itu dimanfaatkan untuk membeli sepetak tanah rawa di ujung Lueng Bata. Tahun 2002 baru pembangunannya dimulai. Di sinilah kemudian dia mengumpulkan anak-anak korban konflik.
Kecuali itu, tak ada yang istimewa di sini. Bangunannya amat sederhana, dibuat dari kayu. Hanya ada satu unit bangunan permanen yang belum selesai, yang lantai duanya dipakai untuk tempat shalat.
Sementara asrama anak-anak dan tempat pengajian masih centang perenang, karena sedang dalam proses pembangunan. Departemen Luar Negeri sedang membangun dua unit asrama dan tempat belajar. ”Baru ini bantuan yang ada,” kata Bulqaini.
Begitu pun, di dayah ini anak-anak yang terdiri dari 60 laki-laki dan 33 kaum hawa dididik Bulqaini. Rata-rata usianya mulai dari kelas SD sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). ”Belum ada yang kuliah,” sebut pria yang disapa anak didiknya panggilan Tu ini.
Untuk pendidikan umum anak-anak ini disekolahkan. ”Semua biaya ditanggung oleh Al-Ishlah,” katanya.
Kebutuhan biaya rutin per bulan untuk seorang anak mencapai Rp 500 ribu. Itu berarti untuk 93 anak dia harus mengeluarkan dana lebih dari Rp 46 juta lebih per bulan. “Ini belum termasuk untuk 16 tenaga pengajar. tenaga pengajar itu semuanya relawan,” ujarnya.
Bulqaini tak peduli latar belakang anak-anak itu. “Siapa pun dia, baik itu anak korban aparat maupun kelompok bersenjata, jika butuh bantuan, akan kita bantu semampunya,” urai dia.
Bulqaini membiayai biaya pendidikan dan kehidupan anak-anak dari sumbangan orang-orang yang bersimpati. Bahkan, katanya dalam dua tahun terakhir dia mendapat subsidi rutin dari PTP Nusantara, Langsa.
Bukan hanya dana rutin setiap bulan, awalnya mereka juga membantu membangun barak,” ujar Bulqaini. ada juga donatur-donatur lainnya yang kini menetap di Medan.”
Kehidupan dayah sudah akrab dengan pria kelahiran 39 tahun lalu itu. Separoh kehidupannya dihabiskan di sana. Makanya tak heran jika Bulqaini sudah mengenyam pendidikan di beberapa dayah ternama di Aceh, di antaranya Dayah Mudi Mesra Samalanga, Bireuen. Kakeknya, Tgk Haji Hanafiah memimpin dayah tersebut.
Lalu, pada 1987 dia belajar ke Dayah Malikussaleh di Panton Labu, Aceh Utara, kemudian ke Dayah Ulee Titi, Lambaro Aceh Besar.
”Waktu itu peta politik di Aceh Utara sedang memanas,” ujar Bulqaini yang lahir di Tanjongan, Kecamatan Samalanga pada 1968. Kini dia sudah dikaruniai tiga putra yakni, Muhammad Izzisyakir, Muhammad Izziddin, dan Muhammad Izzil Hasani.
Kelaziman teungku-teungku dayah di Aceh kerap menabalkan nama kampung di belakang namanya. Seperti Tgk Muhammad Daud Beureu-eh, Tgk Hasan Krueng Kalee, Tgk Abdul Wahab Seulimeum, dan lain sebagainya.
Begitu pula dengan Tu Bulqaini. Di belakang namanya ditambalkan nama kampung kelahiran, maka nama lengkapnya menjadi Bulqaini Tanjungan. Akhirnya Bulqaini pun bertekad memutuskan tali dendam di hati anak-anak Aceh yang menjadi korban konflik.
Cara satu-satunya adalah dengan membimbing mereka yang masih punya bibit-bibit dendam. “Kalau mereka sudah saling kenal, bertemu tiap hari dan bermain bersama dan berbagi duka, saya yakin mereka akan berdamai,” ungkap Tu Bulqaini.
Dayah Markaz Al Ishlah Al Aziziyah yang ia pimpin, kini semakin berkembang. Dayah ini juga telah melaksanakan program Satuan Pendidikan Mu`adalah (SPM) dan Pendidikan Diniyah Formal (PDF), program ini telah berjalan dua Tahun. Dan satu-satunya dayah Salafiyah (Tradisional) yang telah mengantongi izin dari Dirjen PD Pontren Kementerian Agama RI atas program PDF dan SPM di Banda Aceh.
Kecintaan Tu Bulqaini pada anak yatim tidak diragukan lagi. Ia sosok ulama panutan yang memuliakan anak yatim. Tiap menyambut lebaran, Tu Bulqaini memastikan anak yatim di dayahnya ceria, layaknya ceria anak-anak yang lainnya.
Setiap giat peringatan Maulid Nabi, dayah ini dihadiri berbagai kalangan termasuk pejabat tinggi TNI/Polri di Aceh. Ini membuktikan bahwa relasi yang dibangun oleh Tu Bulqaini sangat baik.
Kami menjadi saksi sejak 2016 kami sering meminta masukan Tu Bulqaini dalam memformulasikan program pada Disdik Dayah di Kota Banda Aceh. Sukses terus guree!
* Penulis adalah Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Kota Banda Aceh, Fasilitator Dayah Ramah Anak Terintegrasi (Pro DAI) YaHijau-UNICEF, Pengurus ICMI Kota Banda Aceh, Dosen Legal Drafting FSH UIN Ar-Raniry, Ketua Komite Dayah Terpadu Inshafuddin.