Banghas

Peunayong Pecinan dan Kota Toleran

3444
×

Peunayong Pecinan dan Kota Toleran

Sebarkan artikel ini
Bangunan situs sejarah pertokoan peninggalan zaman Balanda, di sudut kota tua Peunayong, Minggu (22/1/2023). FOTO/ HASNANDA PUTRA

posaceh.com – Tidak banyak yang mengetahui bahwa di sebuah sudut kota tua Banda Aceh terdapat komunitas yang beragam secara etnis dan agama, malahan secara persentase justru gampong bernama Peunayong ini hampir dominan Non Muslim. Tentu saja ini gambaran yang unik sekaligus mematahkan opini negatif tentang toleransi di negeri yang memberlakukan Syariat Islam. Di sini penganut Non Muslim leluasa melaksanakan ibadah dan tinggal dengan nyaman bertahun-tahun.

Peunayong dan Gampong Mulia adalah gerbang kerukunan di ibukota Aceh ini, berbagai etnis dan agama hidup tenteram dan damai. Tidak pernah ada konflik, diskriminasi atau pertentangan apapun terkait perbedaan keyakinan. Inilah keseharian Ibukota Aceh yang sejak 1999 memberlakukan hukum Syariat Islam secara kaffah.

Peunayong sendiri disebut-sebut berasal dari kata “Peumayong” yang berarti memayungi, melindungi. Peunayong dimasa Sultan Iskandar Muda menjadi tempat menjamu tamu kerajaan yang datang dari Eropa dan Tiongkok. Mereka beristirahat disini sampai berhari-hari sebelum menghadap para Sultan.

Di kota tua Peunayong terdapat berbagai rumah ibadah gereja dan vihara di berbagai tempat. Etnis Tionghoa banyak menganut agama Budha, Protestan, Katolik dan juga Islam. Semuanya berlangsung baik dan penuh kedamaian. Warga Peunayong dengan bebas dapat melaksanakan ibadah tanpa hambatan dan rintangan, semuanya berlangsung dengan baik damai dan nyaman.

Napak Tilas Sejarah

Peunayong Di zaman Belanda menjadi sentral militer sekaligus sebagai pusat perdagangan. Peunayong didominasi warga Cina dari Suku Khe, Tio Chiu, Kong Hu, Hokkian dan sub-etnis lainnya. Dengan keadaan ini tentu saja kota tua ini menonjol sebagai pusat perdagangan terbesar di Aceh.

Wilayah Peunayong dulu sampai ke Lampulo yang pernah dikenal sebagai Ujong Peunyong. Beberapa literatur sejarah menyebutkan tentang sebuah kawasan di ujung dekat laut yang didominasi etnis Cina dan dikenal sebagai pasar Kampung Cina. Mereka, menempati rumah yang berdekatan satu sama lainnya di salah satu ujung kota di dekat laut dan disebut sebagai Kampung Cina.

Pada zaman Sultan, para pedagang termasuk dari Cina tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh. Kapal-kapal Cina membawa beras ke Aceh. Tempat tinggal mereka disebut perkampungan Cina, yang terletak di ujung kota dekat pelabuhan.

Sadar Kerukunan

Kementerian Agama Provinsi Aceh juga telah menetapkan Peunayong sebagai Gampong Sadar Kerukunan di tahun 2019, sebagai bukti pengakuan negara akan kerukunan di kota tua yang bersejarah ini.

Sebagai gampong yang menjadi satu-satunya wilayah di Banda Aceh (mungkin juga di Aceh) dengan jumlah pemeluk Non Muslim sebagai mayoritas, Peunayong adalah wajah khas sebuah negeri paling toleran. Berbagai tempat ibadah berdiri megah di Peunayong, dari masjid, gereja sampai vihara.

Hanya di sini vihara bisa lebih banyak dari masjid. Terdapat empat tempat ibadah umat Budha, yaitu vihara Dharma Bhakti, Buddha Sakyamuni, Maitri dan Dewi Samudera.

Rumah ibadah bersejarah Gereja Katholik peninggalan Belanda terletak kawasan Pante Pirak, sementara Gereja Protestan Indonesia bagian Barat dan Gereja Methodist di Pocut Baren terletak di perbatasan Peunayong Gampong Mulia.

Dua masjid juga berdiri megah di Peunayong, yaitu Al Mutaqqien dengan latar Krueng Aceh dan taman kota di sampingnya dan sebuah Masjid indah lainnya bernama Babuzamzam di sebelah utara.

Sudut kota tepi Krueng Aceh ini dikenal sebagai pusat perdagangan terbesar di Kota Banda Aceh. Sebagai kawasan yang banyak didiami kaum Thionghoa, maka Peunayong disebut juga sebagai Pecinan terbesar di Aceh.

Kondisi keseharian kerukunan ini menjadi bukti Kota Banda Aceh paling toleran di Republik. Ketika di tempat lain tolerasi masih didiskusikan, di Peunayong dan Banda Aceh sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. (Hasnanda Putra)