Oleh Mulyana*
Akhir-akhir ini banyak sekali kasus korupsi yang muncul ke publik, dan banyak media memberitakan persoalan tersebut. Dari kasus wastafel, pengadaan buku di Majelis Adat Aceh (MAA), dan kasus beasiswa yang sebenarnya bantuan pendidikan.
Banyak berita-berita berseliweran di laman media sosial, yang memicu para netizen mengomentari masalah tersebut. Ada yang mengomentari dengan tutur bahasa yang bagus, tetapi tak sedikit pula yang menghujat tanpa tabayyun, mengeluarkan kata-kata kasar yang dinilai jauh dari budaya kita orang timur.
Contoh, seperti kasus beasiswa, kasus ini sudah sangat lama bergulir, dan bahkan pernah trending topic berkali-kali. Apakah karena penyajian berita yang begitu massif dengan menyalahkan sosok tertentu tanpa pembuktian yang benar?
Ataupun memang sosok tersebut adalah seorang tokoh paling populer di Aceh saat ini, baik dari segi pengaruh dan kevokalannya dalam membela kepentingan Aceh, sehingga harus dibungkam dan isunya diviralkan di berbagai platform media sosial?
Dari informasi yang didapatkan, 21 anggota DPRA periode 2014- 2019 sudah dipanggil oleh penyidik Polda Aceh untuk dimintai keterangan terkait kasus beasiswa yang sebelumnya cukup menghebohkan. Namun sampai saat ini, tidak ada dari mereka yang dijadikan sebagai tersangka, kecuali Dedy Safrizal yang secara sah dan meyakinkan dianggap oleh penyidik telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Sebagai warga negara yang baik, sejatinya kita percaya terhadap aparat penegak hukum yang telah menangani perkara ini. Bukan malah sengaja menggiring opini dan menjadi hakim sendiri dengan men-judge seseorang bersalah.
Berdasarkan Alat Bukti
Berbicara seseorang bersalah atau tidak itu adalah berdasarkan alat bukti bukan opini. Apalagi opini yang dipengaruhi oleh informasi yang belum jelas kebenarannya. Penggiringan opini secara sengaja ini juga merupakan penzaliman dan pembunuhan karakter seseorang.
Lain halnya dengan kasus korupsi pengadaan buku di MAA, kasus ini padahal sudah masuk dalam persidangan tipikor Banda Aceh, tapi anehnya kasus ini hilang dari sorotan pemberitaan. Padahal pengadaan buku itu diduga usulan pokir dari seorang anggota DPR Aceh juga.
Sebaliknya, kasus beasiswa yang setiap sidangnya ditunggu untuk mendapatkan informasi, kemudian disalurkan dan diviralkan setelah dilansir oleh media online
Dan lebih menariknya lagi, kasus wastafel yang tampak panas di awal, namun kini hilang bak ditelan bumi. Padahal pihak Polda Aceh sudah mengumumkan tersangkanya. Lagi-lagi, sebagai warga negara yang baik, kita percayakan aparat penegak hukum profesional dalam mengungkap kasus ini.
Melihat pemberitaan yang tidak seimbang dari beberapa kasus di atas, tergugah rasanya untuk melihat kembali tatanan hukum yang sebenarnya. Bahkan seorang yang bersalah pun di dalamnya punya keadilan yang harus dijaga. Apalagi bagi orang yang tidak terbukti bersalah di mata hukum.
Ingat “In Criminalibus Probantiones Bedent Esse Luce Clariore” artinya, Pembuktian Harus Lebih Terang dari Sinar Matahari. Asas ini bertujuan untuk menghindari fitnah terhadap orang yang tidak bersalah.(**)
* Penulis Mahasiswi asal Aceh Timur