Suatu peristiwa penting terjadi di pantai barat Aceh pada 8 November 1883, sebuah kapal uap Inggris, Nisero, disita dan seluruh awak dijadikan sandera. Pelakunya adalah seorang Raja yang gagah berani dari pantai barat. Teuku Imum Muda, Raja Teunom, sebagaimana ditulis W Bradley, masinis di Kapal Nisero dalam buku hariannya, digambarkan sebagai sosok raja yang tidak bisa diatur dan sering membuat masalah dengan Belanda.
Di atas kertas, Teuku Imum Muda, menyatakan tunduk kepada Belanda pada 1877 agar dapat mengekspor lada sendiri. Namun sebagai raja yang masih bertahan dalam Perang Kolonial, Teunom ingin menunjukkan dirinya sebagai negeri yang bebas.
Pada Desember 1882, Belanda menghukum Teunom dengan menghancurkan desa-desa di dekat pantai dan menutup pelabuhan.
Kutaraja dibuat sibuk, Gubernur Jenderal Belanda PF Laging Tobias tak bisa berbuat banyak karena Raja Teunom mengancam akan membunuh semua sandera apabila diserang. Teuku Umar yang dikirim bersama pasukan lengkap untuk membebaskan sandera, ternyata berkhianat dan balik menghabisi tentara Belanda.
Upaya sang raja untuk memanfaatkan para tawanan berhasil dengan gemilang, karena perwakilan Inggris di Penang dan Singapura telah lebih dulu antipati terhadap Belanda dan perang yang sia-sia yang akhirnya mengacaukan perdagangan lada di pelabuhan-pelabuhan di Selat Malaka.
Sore hari 24 November 1883 pukul tiga, Bradley dan para sandera lain mulai dipindahkan ke pendalaman Teunom.
Bagian pertama perjalanan adalah menembus area perkebunan, dan selanjutnya melewati sejumlah jalur sungai dengan beberapa kano atau rakit.
Tidak lama kemudian, tiba di pinggir sungai utama yang disebut Krueng Teunom yang hulunya berasal dari Krueng Tangse dan Geumpang. Setelah mendarat, lalu meneruskan perjalanan dengan menyusuri pinggir sungai berkelok-kelok tajam, dan kelokan di beberapa bagian tampak pendek.
Bradley, sang masinis, sebagaimana kemudian dirangkum dalam buku Sumatera Tempo Doeloe, menggambarkan pemandangan yang dijumpai sepanjang alur Krueng Teunom sangat indah dan memukau.
“Pemandangan di pinggir sungai akan tampak memukau seandainya kami tidak berada dalam situasi seperti sekarang,” tulis Bradley.
Raja Teunom telah mempersiapkan tempat sandera ini yang jauh dari jangkauan Belanda, dan akan sangat menyusahkan untuk setiap upaya penyerangan.
Pondok sederhana yang digambarkan sebagai ‘sangkar burung’ ini menjadi markas pertama para awak kapal Nisero. Setelah itu mereka dipindahkan ke tempat yang lebih baik, yang terletak di luar pagar yang mengelilingi kediaman raja. Mereka menyebut markas baru sebagai Teunom Atas, sementara markas yang lama disebut sebagai Teunom Bawah.
Berbagai upaya dilakukan perwakilan Inggeris untuk membebaskan sandera Nisero, baik tekanan kepada Belanda maupun pendekatan terhadap Teunom. Sekitar juli 1884, datang setengah lusin surat sehingga menimbulkan perasaan girang di dalam diri awak kapal. Salahsatu surat itu berasal dari Komandan Bickford, yang menyebutkan bahwa kini ia sedang berada di Bubon. Ia menanyakan kondisi awal Nisero dan berupaya dapat mengetahui informasi tentang keadaan mereka. Menanggapi permintaan perwakilan Inggris ini, awak Nisero menghadap raja agar bisa menemui Bickford, namun raja tidak berkenan.
Kabar tak sampai
Setelah beberapa bulan dalam pengasingan di pendalaman Teunom, empat diantaranya meninggal. Namun kabar kematian ini tidak diketahui perwakilan Inggris dan keluarganya. Padahal beberapa surat telah disampaikan sebelumnya. Ketika awak Nisero menanyakan hal itu, raja menjawab dengan dingin bahwa surat pribadinya sekalipun tidak semuanya sampai ke tujuan.
Surat-surat kerinduan
Kepala kamar mesin menerima tiga pucuk surat: satu pucuk dari Mr. Kidd, dan dua pucuk lagi dari rumah. Masinis II mendapat surat yang dilampiri foto anak laki-lakinya yang lahir ketika ia sudah meninggalkan Inggris. Mekanik lain juga menerima surat dari isterinya, yang mengabarkan bahwa ia baru melahirkan seorang anak laki-laki. Mereka menikah hanya beberapa waktu sebelum Nisero berlayar. Sementara itu, Mr. Thompson menerima surat dari ayahnya. Sebagaimana surat dari Mr Kidd, surat dari ayah Mr. Thompson juga menyinggung perihal Bradley. Rupanya ibu Mr. Thompson sempat berkomunikasi dengan keluarganya. Balasan atas surat-surat tersebut dikirimkan ke Bubon keesokan paginya. Komandan Bickford sendiri sempat menyebutkan bahwa ia berniat menetap di Bubon selama tujuh atau delapan hari.
Selama hampir sepuluh bulan ditawan, awak Nisero berupaya melakukan berbagai kegiatan di seputaran Krueng Teunom. Kadang mereka dengan solidaritasnya merawat kuburan teman-temannya di seberang sungai.
Di lain waktu mereka berupaya menyeberangi sungai mencari makanan lain seperti pisang dan telur. Namun para penduduk tidak mau memberikan sesuatu kepada mereka. Mereka takut dipenggal oleh raja. Akhirnya awak Nisero berenang kembali ke tempat semula, dan yang mengejutkan tiba-tiba saja raja berjalan di pinggir sungai ke arah awak kapal sambil membawa tongkat dan pedang besi berunjung runcing. Bradley, sang masinis itu, dipukul dengan tongkat yang ia bawa di kedua kakinya. Dia berupaya melawan namun sejumlah awak kapal lainnya mengingatkan akibatnya.
Pembebasan dengan tebusan
Negosiasi mengenai persyaratan pembebasan para tawanan awak Nisero mencapai puncak pada Mei 1884, yakni ketika London mengajukan diri untuk menjadi penengah guna mengatur perdamaian perang Belanda Aceh. Belanda yang bersedia bekerja keras agar tidak dipermalukan oleh intervensi seperti itu akhirnya menyetujui beberapa persyaratan untuk membebaskan para tawanan pada September 1884; 100.000 gulden dibayarkan kepada raja, pelabuhan-pelabuhan Teunom dibuka, dan berlaku kebijakan baru Belanda untuk tidak lagi memblokade pelabuhan sebaga cara untuk menekan Aceh.
Akhirnya pada 10 September 1884, kesemua awak kapal yang masih hidup telah dibebaskan. Mexwell, Pejabat Inggris di Pulau Pinang, sukses membawa mereka balik dari Aceh setelah sebelumnya membayar tebusan kepada Teuku Imum Muda Teunom.
Ketika dijemput oleh Mexwell, Teuku Imum Muda berkata dalam pelepasan bahwa pihaknya mengembalikan awak kapal kepada saudara sebangsanya, yang telah dirawat selama sepuluh bulan terakhir di Teunom. (Hasnanda Putra)