BanghasNews

Membokong Köhler

4163
×

Membokong Köhler

Sebarkan artikel ini
Foto Kohler

Kapal Perang Citadel van Antwerpen membuang sauh di lepas perairan Ulee Lheue Banda Aceh. Tepat pada tanggal 26 April 1873 mulai meneror daratan dengan melepas tembakan meriam berkali-kali. Sesekali terdengar balasan dari daratan, tapi nampaknya tidak ada respon berlebihan dari daratan.

 

Namun keesokan harinya tiba-tiba terlihat bentuk meriam-meriam kecil sepanjang garis pantai Banda Aceh. Meriam dari geladak kapal Belanda menembak lagi, meriam Aceh-pun menghilang. Beberapa saat kemudian muncul lagi dan terus menerus terjadi demikian.

 

Johan Harmen Rudolf Köhler diatas Kapal Induk Citadel van Antwerpen, kemudian menoropong daratan. Terlihat sangat jelas ribuan meriam berjajar di sepanjang pantai. Belum pernah ditemukan meriam sepanjang ini.

 

Ternyata tipu Aceh (baca: strategi Aceh) mungkin mulai di sini, kaum pria dewasa “membuka celana”, mengecat (maaf) bokong dan kemaluan. Terus berjongkok menghadap ke laut lepas.

 

Maka dari kejauhan terlihat bentuk persis meriam lengkap dengan aksesoris dan siap digunakan. Köhler menggeleng-geleng kepala berdecak kagum. “Teknologi apa ini?,” hatinya menjadi kecut.

 

Belanda kehabisan daya dan kekuatan mengempur pantai dengan harapan segera dapat mendaratkan pasukannya.

 

Meriam sepanjang pantai terlihat siap menyambut pendaratan pasukan Belanda. Benar-benar pertahanan pantai paling “mengerikan” di dunia.

 

Namun para prajurit Belanda tetap bertekad memasuki daratan Aceh apapun yang terjadi. Para prajurit terus menggelorakan semangat untuk mengempur Aceh tanpa ampun.

 

Lagu Militair Atchinlied karya P Haagsma dinyanyikan berulang-ulang.

 

“Naar Atchin, de Kraton! Daar zetelt het kwaad.

 

Schuilt ontrouw, broeit zeeroof en smeulde verraad; Roeit uit dat geboredsel, verneder die klant; Met Nederlands driekleur ‘beschaving’geplant.”

 

Ke Aceh, Kerajaan! Disanalah bersarangnya kejahatan. Sembunyikan kepalsuan, sarang bajak laut dan penuh pengkhianatan;

 

Teriakilah kekacauan itu, permalukanlah;

Dengan ’peradaban’ Belanda tiga warna.

 

Sementara Köhler terus merisaukan kondisi daratan, nyanyian prajurit tidak membuatnya senang. Malam itu di laut lepas Ulee Lheue, Jenderal Belanda ini mengerutu.

 

“Apa kerja mata-mata yang kita bayar mahal, katanya Aceh tidak punya pertahanan pantai, tapi meriam kok bisa sebanyak ini,” kata Köhler.

 

“Mungkin itu meriam bantuan Turki jenderal” jawab kopral pengawal.

 

Digebraknya meja, ” Tahu apa kau!, Otoman tidak mampu itu, aku berpuluh tahun melihat meriam tidak ada begini bentuknya,?” sergah Köhler dengan marahnya.

 

“Tak kusangka Aceh punya meriam sebagus ini, benar-benar amazing” katanya dalam hati sambil berdecak kagum.

 

Di daratan, beberapa hari yang lalu sudah disampaikan “warning” aba-aba pengumuman:

 

” Mulai uroe nyo, kaum inong mak-mak apalagi aneuk dara hanjeut toe-toe sagai ngen pante, sige treuk kamo ulangi bek sagai-sagai jingeuk u laot,” diulangi lagi pengumuman ke beberapa kawasan dekat pantai Ulee Lheue.

 

Terjemahan : Mulai hari ini, kaum perempuan ibu-ibu apalagi anak gadis, jangan sekali-kali mendekati pantai, diulangi sekali lagi jangan mencoba-coba melihat ke arah laut.

 

Empat belas hari kemudian tepatnya Pada tanggal 8 April 1873 , Belanda mendarat di Pantai Ceureumen dibawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler.

 

Benarkah kisah ini? .

 

Cerita orang-orang tua pernah mengabari tipu muslihat penuh kelucuan ini, namun tidak ada naskah tulisan seringkali membuat sejarah menjadi dongeng.

 

Cerita ini juga pernah dikaitkan dengan meriam Kapal Belanda yang menembakan koin atau peng griek ke semak-semak, sehingga tanpa disadari tembakan itu membersihkan pantai dari semak belukarnya. Hal ini memudahkan Belanda memasuki daratan Aceh.

 

Namun sejarah mencatat, Köhler mati ditembak seorang sniper pejuang Aceh, 14 April 1873, tatkala dengan pongahnya berdiri di depan masjid raya yang dibakar sebagai tanda kemenangan.

 

Ketika peluru menembus tubuhnya, Köhler berteriak kesakitan: “O, God, ik ben getroffen!” Oh, Tuhan, aku tertembak.

 

Pastinya warning orang-orang tua “bek gabuk ngen peng griek” ini berdasarkan pengalaman masa lampau, bahwa kemenangan selalu penuh godaan.

 

Dan sungguh, kekalahan seringkali beraroma uang dan jabatan. (Hasnanda Putra)