InternasionalNews

Ini yang Akan Terjadi di Dunia Jika Virus Corona Terus bermutasi & Menyebar

1453
×

Ini yang Akan Terjadi di Dunia Jika Virus Corona Terus bermutasi & Menyebar

Sebarkan artikel ini
tes covid-19 di vietnam. ©2020 REUTERS/Kham

posaceh.com, Jakarta – Jika pandemi virus corona terus menyebar ke seluruh dunia, vaksin bisa menjadi tidak efektif dan varian-varian virus yang ada mampu menghindar dari sistem imunitas.

Menurut basis data genom seperti yang dihimpun nextstrain.org, saat ini ada lebih dari 1.000 varian dari virus Sars-CoV-2.

Hingga saat ini sejumlah varian disebut dengan nama lokasi tempat virus itu pertama kali diidentifikasi. Namun untuk menghindari stigmatisasi terhadap negara tertentu Badan Kesehatan Dunia (WHO) kini mengganti penamaan varian virus corona dengan abjad Yunani. Varian Inggris, Afrika Selatan, Brasil, dan India, kini diberi penamaan dengan Alpha, Beta, Gamma, dan Delta. Namun penamaan itu tidak mengganti kode ilmiah virus tersebut.

Dilansir dari laman Deutsche Welle, Rabu (2/6), varian terbaru yang ditemukan di Vietnam tampaknya adalah persilangan antara Alpha (B.1.17) dan Delta (B.1.617). Menurut Menteri Kesehatan Vietnam Nguyen Thanh Long, varian baru ini menyebar “lebih cepat di udara” dan itu menjelaskan melesatnya angka penularan pada bulan Mei.

Hingga kini Vietnam mencatat 3.500 kasus dan 47 kematian sejak dimulainya pandemi hingga Mei 2021. Pemerintah berhasil mengendalikan pandemi Covid-19 dengan menerapkan penguncian ketat dan karantina menyeluruh.

Namun sejak Mei, Vietnam sudah mencatat lebih dari 3.000 kasus baru–terbanyak di Provinsi Bac Ninh dan Bac Giang, kawasan tempat ribuan pegawai bekerja di bagian produksi perusahaan teknologi internasional.

Arah pandemi

Orang boleh menganggap angka itu masih relatif rendah, namun varian baru virus corona di Asia dan tempat lain harus menjadi perhatian di mana pun kita berada. Pandemi bisa terus berlangsung dan menyebabkan penderitaan lebih luas ke seluruh dunia.

Jika varian baru ini dengan cepat bisa beradaptasi pada manusia sebagai inangnya, maka antibodi kita–baik yang terbentuk karena vaksin atau penularan–pada titik tertentu tidak akan lagi mampu melindungi kita. Tes antigen atau PCR tidak akan lagi mampu mendeteksi jenis varian ini dan bisa memberikan hasil yang keliru. Pada akhirnya ketersediaan vaksin akan perlahan sia-sia.

Itulah sebabnya betapa pentingnya untuk mengidentifikasi virus sesegera mungkin dengan menggunakan pengurutan genetik dan memastikan sejumlah tipe vaksin dengan dosis tertentu bisa tersedia secara global dan tidak cuma untuk negara kaya saja.

Mengapa pengurutan genetik penting?

Dari empat varian yang terbukti berbahaya, kini ada varian silangan (hybrid) seperti yang ada di Vietnam. Sebagian yang lain tampaknya sudah ada juga. Tapi varian jenis ini baru terdeteksi “kebetulan” karena banyak negara tidak memiliki fasilitas untuk pengurutan genetik.

Untuk bisa melawan virus kita harus mengetahui kode genetiknya dan itu hanya bisa dilakukan dengan pengurutan genom. Metode pengurutan genom yang lebih maju membuat ilmuwan bisa memecahkan kode dari keseluruhan genom virus secara bertahap. Ilmuwan bisa mendeteksi perubahan kecil pada virus dengan melihat fragmen BNA–dan dengan begitu bisa menentukan asal dan pola penyebaran varian tersebut. Dari sanalah ilmuwan bisa mengembangkan vaksin yang tepat.

Varian berbeda dan vaksin yang tidak tepat

Ada banyak indikasi sejumlah varian virus menjadi penyebab munculnya wabah cepat saat ini di sebagian wilayah Asia. Di Sri Lanka dan Kamboja varian Alpha (B.1.1.7) cukup dominan. Dari yang kita ketahui saat ini, vaksin mRNA yang diproduksi BioNTech/Pfizer dan MOderna cukup efektif melawan varian ini. Vaksin AstraZeneca juga memberi perlindungan yang cukup baik. Vaksin mRNA bisa beradaptasi relatif cukup cepat.

Di India dan wilayah utara hingga ke Nepal, varian Delta (B.1.617) kini sudah menyebar luas. Nepal kini terdampak pandemi lebih buruk dari India dilihat dari perbandingan populasi.

Pengurutan genom oleh Institut Virologi Nasional India mengidentifikasi delapan mutasi pada bagian ujung protein varian Delta (B.1.617). Dua di antaranya terkait dengan tingginya tingkat penularan dan satu di antaranya sama seperti varian Gamma, bisa menghindar dari sistem imun manusia.

Jauh dari usai

Menurut London Imperial College, varian Delta sekitar 20 hingga 80 persen lebih mudah menular dari varian Alpha. Dengan begitu virus tersebut kemungkinan bisa menghindari sistem imun yang sebelumnya diberikan lewat vaksinasi atau penularan sebelumnya. Penelitian di Inggris memperlihatkan vaksin BioNTech/Pfizer dan AstraZeneca tidak begitu efektif melindungi dari varian ini.

Varian yang ditemukan di Vietnam adalah silangan dari Alpha (B.1.17) dan Delta (B.1.617). Baru satu juta dari 96 juta populasi di Vietnam yang divaksin dengan AstraZeneca, vaksin yang ampuh melawan varian Aplha tapi tidak begitu efektif melawan varian Delta. Pada paruh kedua tahun ini, Vietnam berharap bisa mendapat tambahan vaksin mRNA dari BioNTech/Pfizer dan Moderna. Sejauh ini belum diketahui bagaimana vaksin tersebut mampu menghadapi varian silangan yang ditemukan di Vietnam.

Di Bangladesh, sebaliknya, varian beta (B.1.351) memicu tingginya kasus penularan. AstraZeneca dilaporkan kurang memberikan perlindungan optimal dari jenis varian ini. Ini masalah besar, karena vaksin yang tersedia di Bangladesh adalah Covishield, nama dari vaksin AstraZeneca yang diproduksi di India.

Tidak adilnya distribusi vaksin

Negara-negara kaya berambisi memvaksinasi mayoritas penduduknya pada akhir musim panas ini, sementara negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin masih banyak yang belum memulai program vaksinasi.

Menurut penelitian di jurnal kedokteran The Lancet, negara kaya sudah mengamankan 70 persen pasokan dari lima vaksin Covid-19 yang ada. Menurut WHO hanya 0.2 persen dari populasi di negara miskin yang sudah divaksin. The Economist memperkirakan vaksinasi massal tidak akan dimulai di negara-negara miskin hingga 2024 paling cepat, jika program vaksinasi masih berjalan seperti sekarang.

“Pandemi ini masih jauh dari usai,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, seraya mengkritik lebarnya jurang ketidakadilan dalam distribusi vaksin antara negara kaya dan miskin.

Jika varian virus corona ini terus menyebar cepat dan beradaptasi di tubuh manusia sebagai inangnya maka ketidakdilan ini bisa menjadi akar masalah bagi negara kaya.

sumber : merdeka.com