posaceh.com, Banda Aceh – Forum Group Discussion (FGD) jelang Pilkada 2024 yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bersama Forum Pemred Aceh di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, pada Rabu (22/05/2024), telah memberikan berbagai masukan tentang bagaimana kriteria sosok pemimpin Aceh ke depan.
FGD yang berlangsung setengah hari tersebut menampilkan tiga narasumber utama dari kalangan akademisi yaitu, Prof Dr Mukhlis Yunus SE MS, Prof Dr Husni Jalil SH MH, dan Prof Dr Ir Ahmad Humam Hamid MA. Ketiga Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) itu memaparkan pandangan mereka secara gamblang tentang bagaimana seharusnya sosok pemimpin Aceh ke depan.
Acara diawali dengan laporan Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin yang menjelaskan, FGD bertema “Mencari Sosok Pemimpin Aceh yang Energik, Cerdas, dan Mengerti Akar Persoalan” itu diikuti para pemimpin redaksi (pemred) lintas media, pengurus BEM Universitas, dan aktivis LSM yang fokus pada isu korupsi, sosial, lingkungan, dan pemerintahan.
“Semua yang berkembang di forum ini terbuka untuk dikutip dan disiarkan secara langsung oleh media. Juga akan ada butir-butir rekomendasi yang akan dirilis ke media sebagai dokumen publik dan menjadi pedoman bagi masyarakat sebelum menjatuhkan pilihan pada Pilkada 2024,” kata Nasir pada FGD yang dimoderatori Ketua Forum Pemred Aceh, Ir H Nurdinsyam tersebut.
Mampu Menjadi ‘Problem Solver’
Prof. Mukhlis Yunus yang tampil sebagai pemateri pertama menjelaskan, kriteria calon pemimpin Aceh ke depan haruslah orang yang mampu menjadi problem solver (pemecah permasalahan). “Tantangan yang dihadapi Aceh sering berbeda-beda situasinya saat masa awal pemerintahan hingga dengan konteks kekinian,” katanya.
Menurut Guru Besar yang juga pakar Ekonomi USK itu, semua indikator kepemimpinan yang pernah disebutkan saat awal kemerdekaan Indonesia itu tidak lagi bisa sepenuhnya dipraktikkan pada masa kini. Meskipun ada beberapa indikator utama, misalnya seorang pemimpin itu harus amanah tetaplah patut untuk dikedepankan.
Kriteria yang dibutuhkan Aceh saat ini, lanjut Prof Mukhlis, di samping harus pintar secara intelektual, juga harus memiliki sifat amanah. Kendati amanah umat semakin hari semakin berat, tetapi sifat amanah untuk menjadi seorang pemimpin itu benar-benar harus bisa dipertanggungjawabkan.
Pemimpin Aceh ke depan juga harus bisa menyentuh segala permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat di daerah. “Tidak seperti dulu, kini setiap orang memiliki tuntutan kemajuan untuk daerahnya. Makanya dinamika pemimpin itu perlu dilakukan dinamisasi,” katanya.
Segudang Permasalahan
Kemudian, Prof Husni Jalil yang menjadi pembicara kedua mengatakan, Aceh memiliki segudang permasalahan dan tantangan yang harus segera dicarikan solusi pasca Pilkada 2024 selesai. Di antaranya soal Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) yang akan segera berakhir. Lalu soal revisi Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang dinilai stagnan.
Selain itu, kata Guru Besar yang juga pakar Hukum Tata Negara USK itu, Aceh juga terbelit persoalan kemiskinan yang terjadi hampir di semua daerah hingga persoalan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya sebesar 18,6 persen dari tahun 2018-2022. “Kondisi ini telah membuat Aceh harus mengemis anggaran ke pemerintah pusat,” katanya.
Dengan banyaknya persoalan Aceh itu, lanjut Prof Husni, seorang calon pemimpin yang memutuskan maju Pilkada 2024 ini hendaknya tak membayangkan bahwa saat menjabat nanti dia akan duduk manis di bangku gubernur. “Tapi dia harus bekerja keras untuk mencapai tujuan dari pemerintahan daerah itu sendiri, yakni mensejahterakan rakyat,” ujarnya.
Jika calon pemimpin yang maju Pilkada 2024 dengan asumsi hanya akan duduk manis di belakang meja gubernur, maka hal demikian tidak sepatutnya dilakukan karena hanya akan membuat kecewa masyarakat pemilih.
Jika calon pemimpin tidak mau bekerja, sebaiknya jangan mencalonkan diri. Karena itu hanya akan membuat masyarakat kecewa.
Butuh Pemimpin Cerdas
Prof Ahmad Humam Hamid yang menjadi pemateri pamungkas pada FGD tersebut, mengindetifikasi Aceh sebagai seorang pasien yang sedang sakit, bahkan setidaknya selama dua tahun terakhir dalam kondisi koma. Ia butuh seorang dokter yang benar-benar tahu cara menyembuhkan penyakitnya.
“Aceh butuh seorang pemimpin yang cerdas, yang bisa membawa daerah ini ke arah yang lebih maju, makmur dan mensejahterakan rakyatnya,” kata Prof Humam.
Menurut Guru Besar yang juga pakar Sosiologi USK itu, Aceh pernah dipimpin oleh orang-orang hebat. Setidaknya ada tiga sosok pemimpin Aceh, yang benar-benar berkarakter Aceh ketika berada di Aceh dan sangat santun ketika berada di Jawa. “Ketiga sosok itu adalah A Hasjmy, Muzakkir Walad, dan Ibrahim Hasan,” katanya.
Menurut Prof Humam, mereka adalah orang-orang yang sangat dekat dengan rakyat karena mereka bicara dengan bahasa rakyat (Aceh). Tetapi ketika ada kepentingan yang lebih besar dengan pemerintah pusat, mereka berubah menjadi sosok yang sangat lembut dan santun, sehingga apapun yang mereka minta tidak ada hambatan. “Bukan meminta dengan karakter Aceh ‘pungoe’ yang malah akan jadi cemoohan,” ujarnya.
Ketiga sosok pemimpin Aceh masa lalu itu, tambah Prof Humam, juga punya kedekatan hubungan dengan presiden maupun lingkaran kekuasaan. “Karenanya ketika gubernur membuat kebijakan, tak ada yang berani macam-macam, semuanya pasti mendukung. Itu karena gubernurnya cerdas dan memiliki kedekatan ke atas,” tutup Prof Humam.(Ask/*)