NewsOpini

Belenggu ‘Money Politic’ dalam Pilkada 2024

483
×

Belenggu ‘Money Politic’ dalam Pilkada 2024

Sebarkan artikel ini
Putra Kaslin Hutabarat (Foto: Dok. Pribadi)

Oleh Putra Kaslin Hutabarat

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) 2024 telah usai, fenomena politik 5 tahunan ini pun tak terlepas dari permainan politik transaksional politik, termasuk money politic. Mulai dari patokan mahar politik pasangan calon, ongkos politik, hingga serangan fajar sebagai alat untuk melakukan money politic.

Praktik money politic atau pembelian suara pemilih sebagai satu alat untuk mempengaruhi massa pemilih melalui materi. Fenomena ini tentu bukan sesuatu yang rahasia, tapi secara hukum memang sangat sulit untuk dijadikan sebagai alat untuk memukul lawan politik karena hampir semua pasangan calon pilkada melakukan hal yang sama.

Money politic atau yang biasa disebut politik uang sering digunakan oleh para kandidat untuk setidaknya meyakinkan masyarakat dalam merebut kekuasaan. Bahkan sebagian besar calon dan juga masyarakat beranggapan bahwa untuk memenangkan pilkada harus mempunyai modal yang besar.

Berdasarkan data survei yang dilakukan oleh Founding Father House (FFH) untuk tahun 2020 saja, sebanyak 71 persen menerima uang atau barang yang diberikan oleh pasangan calon atau melalui tim sukses.

Bahkan dari beberapa porsi 71 persen tersebut jika dikalkulasi, sebayak 80 persen masyarakat yang mau menerima uang ketimbang sembako. Inilah menjadi carut-marut pilkada yang harus kita singkirkan dalam perhelatan pilkada tersebut.

Negara demokrasi memang mengharuskan kekuasaan bersumber dari rakyat, maka secara spontan kita pasti menegaskan adanya kedaulatan penuh dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, sesuai dengan teori demokrasi yang dikemukakan oleh Abraham Lincoln (1809-1865). Sehingga partisipasi masyarakat yang penuh, baik dari segi materi maupun ide sangat diharapkan dalam membangun fondasi demokrasi yang kuat.

Demokrasi sejatinya tidak membebankan sebuah sistem pada elit politik untuk berkuasa penuh, sebab ada rakyat yang diharapkan memberikan konsensus dan legitimasi bagi elit politik yang menjalankan roda pemerintahan.

Sistem politik dalam konteks pemilu di Indonesia, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal ini sering disebut dengan cost politic (biaya politik), ini tentu menjadi kendala bagi setiap Partai maupun elit politik yang mempunyai kapasitas untuk memimpin negara ini namun tidak dapat mengajukan diri, hanya karena kendala biaya.

Sehingga sangat berpotensi bagi Partai Politik maupun elit politik untuk berkoalisi sesama partai, bahkan kepada pemodal dan pengusaha untuk mencari dana sebesar-besarnya. Dengan demikian, puncaknya setiap Partai Politik dan elit politik akan berhutang kepada pemodal atau pengusaha bukan kepada rakyat.

Hubungan kausalitas semacam ini sangatlah kentara dalam sistem pemilu di Indonesia, sebab bagi para pemodal setelah kerugian pasti akan ada keuntungan. Mereka inilah yang disebut sebagai parasit politik jika terpilih sebagai pemangku kebijakan. Bahkan terkadang orang-orang semacam ini membentuk kartel dan mau memperbesar tawar-menawar kepada pemilik modal.

Selama ini, faktanya para calon sibuk membagi-bagikan sembako kepada masyarakat dengan harapan mereka dipilih. Namun setelah itu sibuk memikirkan bagaimana cara mengembalikan uang yang tidak jelas asal-usulnya atau potensi pembiayaan yang dilakukan oleh para pengusaha bagi partai politik tertentu.

Mencari Akar Masalah

Money politic biasanya dijadikan sebagai suatu metode untuk menyakinkan para pemilih pada saat injury time sebelum pemilu dilakukan. Kurangnya kesadaran politik masyarakat terhadap pembangunan di daerah menjadi salah satu faktor kuat berhasilnya para benalu politik untuk melancarkan serangannya.

Memanfaatkan kondisi masyarakat yang ada, baik dari segi kesejahteraan maupun tingkat pesimistis yang dialami oleh sebagian masyarakat terhadap beberapa calon yang kurang menyakinkan. Maka cara jitu untuk menaklukan hati masyarakat adalah dengan melakukan serangan money politic.

Dampaknya memang jangka pendek, tapi sangat berarti bagi masyarakat yang menerima, bahkan hal ini dianggap lebih ril dari sekedar mengumbar janji dan program kerja.
Setiap adanya perhelatan pemilu, masyarakat memang cenderung pasif dan pesimis disebabkan para pemimpin dimasa lalu yang selalu mengumbar janji politik namun tidak memiliki efek apapun terhadap kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, tidak adanya calon kuat yang mempunyai kapasitas untuk memimpin dan memanggul jabatan public policy membuat masyarakat juga kurang antusias untuk mengikuti perkembangan pilkada di daerahnya. Biasanya para calon kepala daerah juga memanfaatkan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, sehingga berdampak pada tingkat daya kritis terhadap para calon.

Maka para calon kandidat yang minim gagasan bisa saja memanfaatkan tingkat daya kritis masyarakat dengan metode money politic tersebut. Sehingga masyarakat tidak lagi memikirkan apa program dan gagasan yang akan diwujudkan serta janji politik yang akan dikerjakan para calon selama menjabat nanti sebagai kepala daerah.

Setiap daerah tentu memiliki potensi ekonomi yang harus dikembangkan, sesuai dengan sumber daya alam maupun pekerjaan yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat.

Dengan demikian, masyarakat harus terlibat langsung terhadap seleksi pemimpin yang layak membangun daerah serta mampu memanfaatkan sumber pencarian ekonomi masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas.

Dalam konteks demokrasi, rakyat tidak hanya dilibatkan secara individu dalam pemilu tapi pada taraf tindakan kolektif kolegial untuk memajukan kepentingan bersama. Jika ditarik dalam kasus pemilu, masyarakat tidak hanya ikut pencoblosan dalam pemilu, tapi ikut dalam proses pemilu termasuk bentuk perumusan kebijakan daerah sesuai dengan potensi hajat ekonomi masyarakat di daerah.

Rakyatlah yang menentukan calon yang layak untuk diperjuangkan bukan para pemilik modal. Hal yang sangat miris adalah ketika membeli suara pemilih dengan memakai uang dari hasil kongkalikong pengijon politik.

Penulis berharap, masyarakat bebas dari belenggu money politic yang hanya berdampak sesaat. Namun sangat merugikan masyarakat untuk 5 tahun mendatang, masyarakat harus ikut terlibat dalam proses pemilu untuk menghasilkan pemimpin yang peduli terhadap nasib perekonomian masyarakat daerah dalam jangka panjang. (*)

Putra Kaslin Hutabarat, M.Pd., Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.