Telur-telur dari Medan masuk Aceh pada Senin-Jum’at dan sebaliknya giliran akhir pekan “telur” Aceh masuk Medan. Cerita satire ini sudah umum terdengar, biarpun tidak ada tafsir resmi atas pernyataan negatif tersebut. Namun kedua-duanya tentu saja merugikan Aceh dan menguntungkan posisi Medan Sumatera Utara.
Perbatasan Besitang yang menjadi tapal batas Aceh-Medan kerap menjadi tempat tidak nyaman bagi kendaraan ber-plat BL. Tapi kondisi ini tetap saja tidak berpengaruh luas, selalu saja kendaraan Aceh ke Medan lebih ramai dari sebaliknya.
Medan selalu saja jadi magnet bagi orang-orang kita untuk mencari dan melihat yang “lebih”. Sebelum pandemi, malahan sekedar menonton film layar lebar puluhan remaja tanggung berombongan mengunjungi Kota Medan.
Medan kota lama di atas Tanah Deli, pernah dikuasai Kerajaan Aceh berpuluh tahun lamanya.
Sebelum menancapkan rencong di tanah melayu ini, Aceh bekerja keras untuk bisa menguasainya. Berbanding Malaka yang membutuhkan waktu untuk menduduki, Deli hanya dalam hitungan hari dikalahkan.
Laksamana Agustin de Beaulieu utusan Raja Perancis yang bermukim setahun lebih di Banda Aceh (1620-1621) dimasa Sultan Iskandar Muda, merekam sebuah catatan tentang cara Aceh menguasai Deli.
Beaulieu menulis (Lombard, hal 133) orang Aceh terkenal mahir sekali dalam keahlian pembuatan dan penggalian parit. Mereka tanpa kenal lelah menggali tanah, sebagaimana terlihat waktu Kedah dikepung, dan khususnya waktu Deli dikepung.
Deli adalah kota yang kuat sekali dan yang dipertahankan oleh seorang tokoh yang sudah termasyhur akan kemampuannya sehingga Gubernur Malaka mengira Raja Aceh bisa saja mengalahkan Malaka, tapi tidak akan bisa mengalahkan Deli.
Bukanlah Aceh kalau tidak memiliki strategi dan tipu daya.
Deli salah menduga, mereka mengira bahwa pasukan kelewang Aceh yang liar itu akan segera menyerbu istana Deli, sehingga pasukan terbaik Deli dipusatkan di inti istana dan sekitarnya sudah penuh barikade dan jebakan maut.
Terkait pasukan kelewang Aceh yang liar dan tanpa ampun itu pernah direkam oleh seorang penulis Belanda Paul van ‘t Veer.
Menurut penuturan Van’t Veer, satu hal yang membuat orang Eropa takut menghadapi Aceh, adalah karena permainan kelewang Aceh yang kerap menyebar maut. Pejuang Aceh menggunakan kelewang dengan tangkas untuk menyergap dan membantai musuh ketika terlibat pertempuran jarak dekat. Konon, dengan sekali ayunan dapat membelah miring bahu orang sampai ke jantung.
Deli pernah merayu pasukan Aceh untuk tidak datang atau menyerbu Deli dengan menawarkan putri-putri cantik melayu terpilih untuk dibawa pergi. Tapi Aceh tidak bergeming, tetap menuntut tunduk pada pada Kutaraja tanpa syarat atau digempur tanpa ampun.
Pasukan Deli akhirnya memusatkan diri di sektor istana dengan pasukan terbaiknya dan jebakan maut, sementara pasukan Aceh mengalihkan arah lain dengan membuat parit.
Deli telah dikuasai, bendera Aceh berkibar di istana Maimun. Sultan Deli menandatangani MOU bergabung tanpa syarat dalam Kerajaan Aceh. Deli mengalami banyak kerugian, termasuk sejumlah putrinya diangkut ke Kutaraja.
Cerita Putroe Ijo
Salah satu cerita yang terkait erat hubungan antara Aceh dan Medan adalah kisah Putroe Ijo, yang menurut tutur orang-orang tua berkenaan dengan Putri Deli yang hijrah ke Aceh dimasa Sultan Iskandar Muda. Cerita ini berbagai versi dan menjadi kisah hidup yang sering dituturkan, baik dilingkungan Istana Maimun maupun di gampong-gampong Aceh.
Kebenaran kisah ini pun belum seluruhnya dapat disebut sebagai cerita fiksi ataukah non-fiksi. Namun di Gampong Pande, Kutaraja Kota Banda Aceh terdapat maqam Putroe Ijo.
Berbanding Banda Aceh dan Medan
Usia Kota Medan masih muda dibandingkan Kota Banda Aceh, kata orang kita “kota kemaren sore”. Kota Medan diakui berdiri pada 1 Juli 1590 M, sementara Kota Banda Aceh telah ada sejak istana pertama dibangun di Gampong Pande pada 22 April 1205 M.
Kala Sultan Iskandar Muda menaklukan Deli (Medan) pada abad 17, hubungan yang terjalin kedua “kota” ini ibarat ayah dan anak.
Bagaimana kini?
Medan terlalu beruntung, sementara kita tambah buntung. Tidak usah terlalu jauh membahas ekonomi mikro makro segala. Hanya untuk memenuhi mie instan, telur dan sirup kita sangat bergantung dari pasokan Medan. Sekali perbatasan tersendat, harga segera melambung di pasar kita.
Mengingat sirup saja, kita sekali lagi hanya bisa gigit jari. Sirup yang kita kenal dengan “cap patong” pada awalnya berproduksi di Kampung Mulya Banda Aceh. Karena sesuatu hal dan kondisi, pada 1980-an sirup yang kala itu banyak menyerap tenaga kerja kita hijrah ke Kota Medan.
Tidak bisa kita pungkiri, ketergantungan kita dengan Medan sudah pada stadium 3 (tiga) membahayakan. Kita tidak akan bergerak maju bila terus menerus bergantung pada kota lain di luar Provinsi Aceh.
Kelewang yang ditakuti orang Deli, kini hanya tinggal nama. Kita tidak lagi berdaya menghadapi Medan. Kalau dulu orang kita dirayu dengan perempuan agar tidak ke tanah Deli, kini tanpa dirayu pun orang kita berlomba menuju Medan.
Dulu kita ditakuti dan disegani Deli (Medan) karena kelewang dan rencong, hasilnya dompet kerajaan Aceh penuh dari upeti. Kini di masa kita, rencong kiri kanan dompet hilang terus. (Hasnanda Putra)